Selasa, 20 Desember 2011

ayah oh ayah


Ayah oh Ayah...
Oleh Alfa Zahra Annisa

Sebuah keputusan berat harus kuterima, dan keputusan ini pasti  terasa jauh lebih berat untuk ibuku. Ayah dan ibu memutuskan untuk bercerai, mungkin sebuah keputusan final yang terbaik untuk kami.  Aku juga sudah bosan mendengarkan pertengkaran ayah dan ibu setiap malam. Gendang telingaku seakan mau pecah tiap kali mendengar ayah membentak ibu. Sudah berapa kali aku mencoba menutup telinga, namun tetap saja sia-sia. Tak jarang kata-kata kotor dilontarkan dari mulut ayah. Berbagai penghinaan diucapkannya. Ibuku memang dari keluarga yang kurang mampu, lain halnya dengan ayahku yang nota bene-nya anak orang kaya. Begitu mudahnya ia merendahkan ibu. Tentu ini sangat menyakitkan bagi ibu, bagiku juga.
Aku terlanjur begitu dekat dengan ibuku. Sejak kecil aku memang lebih nyaman berada di dekat ibu daripada ayah. Bukan maksudku membeda-bedakan keduanya, namun memang kenyataannya begitu adanya. Kini di mataku sosok ayah ibarat macan buas yang siap merobek dan mencabik-cabik mangsanya kapan saja. Tak terhitung lagi berapa kali ayah sudah merobek dan mencabik-cabik hati kami. Tak terkira lagi berapa banyak air mata kami yang tumpah karena ayah. Dan entah sudah berapa kali tamparan keras mendarat di pipi ibuku. Ayah oh ayah, tega nian engkau menyakiti kami.
Kurasa ayah sudah lama menunggu kesempatan cerai ini. Seakan tak ada beban sama sekali apabila harus berpisah dengan keluarga kecil yang sudah dibinanya sejak tujuh belas tahun lalu. Sebelum ibu tahu kedok yang sebenarnya, aku tahu lebih dulu kalau ayah selingkuh dengan seorang wanita. Aku memang tidak terlalu mengenalnya, tapi setahuku dia adalah sekretaris pribadi ayah. Aku ingin marah di depan wanita itu. Ingin kutarik-tarik rambutnya yang sebahu. Ingin kucakar-cakar kulitnya. Ingin kuluapkan segala amarahku padanya. Aku sering memergoki ayah dan wanita itu jalan berdua, namun aku tidak berani buka mulut, apalagi kepada ibu. Kalau ibu tahu, rasanya akan sangat menyakitkan. Namun, yang namanya bangkai lama-lama pasti akan tercium baunya. Perselingkuhan ayah dan sekretarisnya pun akhirnya diketahui ibu. Sejak saat itulah, hampir setiap hari keributan dan pertengkaran mengisi rumahku.
Mungkin hal ini sudah biasa bagiku meski terasa sangat menyakitkan. Tapi aku tak tahu bagaimana dengan adikku. Dia baru kelas empat SD, usianya baru sembilan tahun. Tak bisa kubayangkan anak sekecil itu harus menerima kenyataan pahit ini. Well, aku mencoba menahan air mata ini. Aku coba untuk tegar. Tapi dengan adikku? Dia belum mengerti arti semua ini. Dia selalu menangis tiap kali mendengar dan melihat ibunya tersakiti. Dan aku percaya, hatinya pasti sakit. Sungguh, dia terlalu kecil untuk menerima semua ini.
“ Mira, maafkan ibu, Nak. Ini adalah keputusan terakhir kami. Semoga ini memang jalan terbaik untuk kita semua.”
Ibu memelukku erat. Malam ini adalah malam sebelum sidang perceraian esok hari. Aku sengaja mengajak ibu ke kamarku, begitu pun adikku, Tasya. Aku ingin malam ini merasakan kehangatan cinta dengan ibu dan Tasya, namun tidak dengan ayah. Sekali lagi tidak. Dan mungkin ini adalah terakhir kalinya ibu berada di rumah ini sebelum mereka resmi bercerai. Semenjak ayah dan ibu sering bertengkar, aku jarang berada satu kamar dengan ibu. Paling-paling hanya dengan Tasya.
“ Ibu, Mira yakin ibu pasti kuat menghadapi persidangan besok. Allah pasti melindungi ibu. Ibu nggak boleh nangis. Mira janji, satu saat nanti Mira akan buat ibu bahagia.”
Pagi ini aku turut menghadiri persidangan. Aku tak terlalu tahu tentang seluk beluk perceraian. Hari ini pula ayah dan ibu resmi bercerai. Hak asuh anak jatuh ke tangan ibuku. Sebelum meninggalkan ruang sidang, kusalami tangan ayah. Tanpa kusadari air mataku jatuh juga. Ada getaran yang berbeda tatkala aku menyalami tangan pria paruh baya itu. Aku memang terlanjur sakit hati olehnya, tapi aku mencintainya. Ayah dan ibu memang resmi bercerai, namun tak ada kata cerai untuk orang tua dan anak.
“ Semoga ayah bahagia dengan wanita pilihan ayah itu.” Aku segera berlalu menyusul ibu yang sudah berjalan di depan.
Sore ini aku, ibu, dan Tasya pindah ke rumah nenek. Kira-kira jaraknya tiga puluh kilo dari rumah ayah. Konsekuensinya aku jarak sekolahku menjadi sangat jauh. Tapi tak apalah. Kabar perceraian ayah dan ibuku juga sampai di telinga-telinga sahabatku. Berbagai SMS support masuk ke handphone-ku, setidaknya bisa memberikan sedikit kekuatan baru untukku.
“ Mira, ibu sudah resmi bercerai dengan ayahmu. Tapi jangan sekali-kali kamu putus silaturahmi dengan ayahmu. Dia tetaplah ayah yang harus kau hormati.”
“ Ibu, Mira sudah besar. Mira tahu apa yang harus Mira lakukan. Mira tetap sayang kok sama ayah, Mira tetap hormat sama ayah. Tapi untuk kali ini Mira ingin tenangkan diri dulu. Mira ingin lupakan dulu semua yang telah berlalu. Mira ingin tegar seperti ibu meski akhirnya perceraian harus menjadi akhir skenario ini.“  
“ Nak, cukuplah semua ini ibu yang merasakan. Semoga saja kelak jodohmu adalah orang yang baik. Janganlah kau utamakan harta dan ketampanannya, namun lihatlah iman dan islamnya.”
“ Amiin. Doakan Mira selalu ya Bu.”


Dua belas tahun kemudian...
Dan hari ini, aku tengah berkumpul dengan keluarga kecilku. Lima tahun lalu aku resmi menjadi istri pria idamanku, namanya Muhammad Gibran, kakak kelas semasa SMA. Dulu aku tak pernah sekali pun mengungkapkan perasaanku padanya, karena aku percaya, cinta akan indah pada waktunya. Dan skenario Allah benar-benar indah, ternyata Gibran juga sudah lama menyukaiku. Sama sepertiku, ia tak berani mengungkapkannya. Setelah aku baru setahun kerja, ia datang melamarku. Tentu saja, perasaanku masih sama seperti dahulu.
Bersyukur aku memiliki imam seperti Gibran. Aku selalu memohon pada Allah agar Gibran tak menyia-nyiakanku seperti dulu ayah menyia-nyiakan ibu. Hidupku semakin lengkap dengan dua malaikat kecil, Asyifa dan Azzahra. Si kembar yang baru berusia dua tahun.
Terkadang aku rindu pada ayah yang sudah lama tak kutemui, paling-paling hanya komunikasi lewat telepon. Aku mendengar kabar kalau perusahaan yang dulu selalu dibanggakannya kini  bangkrut. Kata beberapa orang, istri ayah juga sering selingkuh. Kalau sudah seperti ini, ingin rasanya kubawa ayah kemari. Namun, mungkin ia sudah melupakan kami. Entah ini sebuah balasan dari Allah untuk ayah atau apa, aku tak tahu. Semoga saja pintu ampunan selalu terbuka untuknya. Ayah oh ayah, sesungguhnya aku tetap mencintaimu....

Sesungguhnya tiada kata putus untuk anak dan kedua orang tuanya
Sebenci-bencinya seorang anak kepada orang tua, tentulah dalam lubuk hatinya yang terdalam ia begitu menyayanginya.

Tidak ada komentar: