Ayah oh Ayah...
Oleh Alfa Zahra Annisa
Sebuah keputusan berat harus kuterima, dan keputusan ini pasti terasa jauh lebih berat untuk ibuku. Ayah dan
ibu memutuskan untuk bercerai, mungkin sebuah keputusan final yang terbaik
untuk kami. Aku juga sudah bosan
mendengarkan pertengkaran ayah dan ibu setiap malam. Gendang telingaku seakan
mau pecah tiap kali mendengar ayah membentak ibu. Sudah berapa kali aku mencoba
menutup telinga, namun tetap saja sia-sia. Tak jarang kata-kata kotor
dilontarkan dari mulut ayah. Berbagai penghinaan diucapkannya. Ibuku memang
dari keluarga yang kurang mampu, lain halnya dengan ayahku yang nota bene-nya
anak orang kaya. Begitu mudahnya ia merendahkan ibu. Tentu ini sangat
menyakitkan bagi ibu, bagiku juga.
Aku terlanjur begitu dekat dengan ibuku. Sejak kecil aku memang lebih
nyaman berada di dekat ibu daripada ayah. Bukan maksudku membeda-bedakan
keduanya, namun memang kenyataannya begitu adanya. Kini di mataku sosok ayah
ibarat macan buas yang siap merobek dan mencabik-cabik mangsanya kapan saja.
Tak terhitung lagi berapa kali ayah sudah merobek dan mencabik-cabik hati kami.
Tak terkira lagi berapa banyak air mata kami yang tumpah karena ayah. Dan entah
sudah berapa kali tamparan keras mendarat di pipi ibuku. Ayah oh ayah, tega
nian engkau menyakiti kami.
Kurasa ayah sudah lama menunggu kesempatan cerai ini. Seakan tak ada
beban sama sekali apabila harus berpisah dengan keluarga kecil yang sudah
dibinanya sejak tujuh belas tahun lalu. Sebelum ibu tahu kedok yang sebenarnya,
aku tahu lebih dulu kalau ayah selingkuh dengan seorang wanita. Aku memang
tidak terlalu mengenalnya, tapi setahuku dia adalah sekretaris pribadi ayah. Aku
ingin marah di depan wanita itu. Ingin kutarik-tarik rambutnya yang sebahu. Ingin
kucakar-cakar kulitnya. Ingin kuluapkan segala amarahku padanya. Aku sering
memergoki ayah dan wanita itu jalan berdua, namun aku tidak berani buka mulut,
apalagi kepada ibu. Kalau ibu tahu, rasanya akan sangat menyakitkan. Namun,
yang namanya bangkai lama-lama pasti akan tercium baunya. Perselingkuhan ayah
dan sekretarisnya pun akhirnya diketahui ibu. Sejak saat itulah, hampir setiap
hari keributan dan pertengkaran mengisi rumahku.
Mungkin hal ini sudah biasa bagiku meski terasa sangat menyakitkan.
Tapi aku tak tahu bagaimana dengan adikku. Dia baru kelas empat SD, usianya
baru sembilan tahun. Tak bisa kubayangkan anak sekecil itu harus menerima
kenyataan pahit ini. Well, aku
mencoba menahan air mata ini. Aku coba untuk tegar. Tapi dengan adikku? Dia
belum mengerti arti semua ini. Dia selalu menangis tiap kali mendengar dan
melihat ibunya tersakiti. Dan aku percaya, hatinya pasti sakit. Sungguh, dia
terlalu kecil untuk menerima semua ini.
“ Mira, maafkan ibu, Nak. Ini adalah keputusan terakhir kami. Semoga
ini memang jalan terbaik untuk kita semua.”
Ibu memelukku erat. Malam ini adalah malam sebelum sidang perceraian
esok hari. Aku sengaja mengajak ibu ke kamarku, begitu pun adikku, Tasya. Aku
ingin malam ini merasakan kehangatan cinta dengan ibu dan Tasya, namun tidak
dengan ayah. Sekali lagi tidak. Dan mungkin ini adalah terakhir kalinya ibu
berada di rumah ini sebelum mereka resmi bercerai. Semenjak ayah dan ibu sering
bertengkar, aku jarang berada satu kamar dengan ibu. Paling-paling hanya dengan
Tasya.
“ Ibu, Mira yakin ibu pasti kuat menghadapi persidangan besok. Allah
pasti melindungi ibu. Ibu nggak boleh nangis. Mira janji, satu saat nanti Mira
akan buat ibu bahagia.”
Pagi ini aku turut menghadiri persidangan. Aku tak terlalu tahu tentang
seluk beluk perceraian. Hari ini pula ayah dan ibu resmi bercerai. Hak asuh
anak jatuh ke tangan ibuku. Sebelum meninggalkan ruang sidang, kusalami tangan
ayah. Tanpa kusadari air mataku jatuh juga. Ada getaran yang berbeda tatkala
aku menyalami tangan pria paruh baya itu. Aku memang terlanjur sakit hati
olehnya, tapi aku mencintainya. Ayah dan ibu memang resmi bercerai, namun tak
ada kata cerai untuk orang tua dan anak.
“ Semoga ayah bahagia dengan wanita pilihan ayah itu.” Aku segera
berlalu menyusul ibu yang sudah berjalan di depan.
Sore ini aku, ibu, dan Tasya pindah ke rumah nenek. Kira-kira jaraknya
tiga puluh kilo dari rumah ayah. Konsekuensinya aku jarak sekolahku menjadi
sangat jauh. Tapi tak apalah. Kabar perceraian ayah dan ibuku juga sampai di
telinga-telinga sahabatku. Berbagai SMS support masuk ke handphone-ku,
setidaknya bisa memberikan sedikit kekuatan baru untukku.
“ Mira, ibu sudah resmi bercerai dengan ayahmu. Tapi jangan sekali-kali
kamu putus silaturahmi dengan ayahmu. Dia tetaplah ayah yang harus kau
hormati.”
“ Ibu, Mira sudah besar. Mira tahu apa yang harus Mira lakukan. Mira
tetap sayang kok sama ayah, Mira tetap hormat sama ayah. Tapi untuk kali ini
Mira ingin tenangkan diri dulu. Mira ingin lupakan dulu semua yang telah
berlalu. Mira ingin tegar seperti ibu meski akhirnya perceraian harus menjadi
akhir skenario ini.“
“ Nak, cukuplah semua ini ibu yang merasakan. Semoga saja kelak jodohmu
adalah orang yang baik. Janganlah kau utamakan harta dan ketampanannya, namun
lihatlah iman dan islamnya.”
“ Amiin. Doakan Mira selalu ya Bu.”
Dua belas tahun kemudian...
Dan hari ini, aku tengah berkumpul dengan keluarga kecilku. Lima tahun lalu
aku resmi menjadi istri pria idamanku, namanya Muhammad Gibran, kakak kelas
semasa SMA. Dulu aku tak pernah sekali pun mengungkapkan perasaanku padanya,
karena aku percaya, cinta akan indah pada waktunya. Dan skenario Allah
benar-benar indah, ternyata Gibran juga sudah lama menyukaiku. Sama sepertiku,
ia tak berani mengungkapkannya. Setelah aku baru setahun kerja, ia datang
melamarku. Tentu saja, perasaanku masih sama seperti dahulu.
Bersyukur aku memiliki imam seperti Gibran. Aku selalu memohon pada Allah
agar Gibran tak menyia-nyiakanku seperti dulu ayah menyia-nyiakan ibu. Hidupku
semakin lengkap dengan dua malaikat kecil, Asyifa dan Azzahra. Si kembar yang
baru berusia dua tahun.
Terkadang aku rindu pada ayah yang sudah lama tak kutemui, paling-paling
hanya komunikasi lewat telepon. Aku mendengar kabar kalau perusahaan yang dulu
selalu dibanggakannya kini bangkrut.
Kata beberapa orang, istri ayah juga sering selingkuh. Kalau sudah seperti ini,
ingin rasanya kubawa ayah kemari. Namun, mungkin ia sudah melupakan kami. Entah
ini sebuah balasan dari Allah untuk ayah atau apa, aku tak tahu. Semoga saja
pintu ampunan selalu terbuka untuknya. Ayah oh ayah, sesungguhnya aku tetap
mencintaimu....
Sesungguhnya tiada
kata putus untuk anak dan kedua orang tuanya
Sebenci-bencinya
seorang anak kepada orang tua, tentulah dalam lubuk hatinya yang terdalam ia
begitu menyayanginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar