Rabu, 21 Desember 2011

Sholat Terakhir Adinda


SHOLAT TERAKHIR ADINDA
Oleh Alfa Zahra Annisa

Ketika hidup dan mati ada di tangan-Nya, pantaskah kita menolak datangnya akhir sebuah kehidupan? Namun, sudah siapkah tatkala Izrail datang memanggil?

            Sudah berapa kali kuingatkan gadis itu sampai-sampai ucapanku hanya ibarat angin lewat belaka. Ibuku yang usianya semakin senja pun sudah lelah memikirkan anak bungsunya itu. Hampir tiap hari aku, ibu, dan kedua masku berusaha memperbaikinya, mulai dari cara halus hingga mengurungnya dalam kamar selama seminggu. Namun, ia tetap saja membuat kami gemes dengan perilaku-perilaku nakalnya.
            Aku anak ke-tiga dari empat bersaudara. Namaku Hening, saat ini sedang menyelesaikan skripsiku untuk meraih S1 jurusan akuntansi di salah satu universitas Negeri di Jogjakarta. Dari empat bersaudara itu, ada dua laki-laki, si kembar mas Danu dan mas Rangga yang masing-masing sudah berkeluarga. Aku terbilang sangat dekat dengan kedua masku itu dibanding dengan adikku, Adinda namanya, sekarang kelas 2 SMA. Di antara kami berempat, Adinda-lah yang paling dimanja ibu. Wajar saja, saat Adinda baru berusia tiga bulan, ayah meninggal dunia. Kanker hatinya sudah tidak mungkin disembuhkan lagi. Saat itu ibu benar-benar terpukul. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga di samping mengurus adikku yang masih bayi. Untunglah, waktu itu Mas Danu dan Mas Rangga mendapat beasiswa kuliah, setidaknya meringankan beban ibuku.
            Adinda tumbuh besar tanpa kekurangan kasih sayang sedikit pun dari ibu. Apa pun yang dimintanya pasti selalu dituruti, apalagi usaha batik ibu berkembang pesat. Berapa pun yang Adinda minta, pasti ibu beri. Kalau dibandingkan, Adinda memang jauh lebih cantik dariku. Tinggi semampai, rambut lurus sebahu, mata lentik, hidung mancung, dan warna kulit putih langsat melekat di tubuhnya. Sedangkan aku? Aku tidak lebih tinggi darinya. Kulitku hitam. Jerawatku tak pernah usai menghiasi wajah ini. Hidungku pesek. Ah, tak perlu disesali. Ini ciptaan Tuhan. Ibu sering sekali membandingkan kami, tapi tak apalah. Bagaimana pun, Adinda adalah adikku yang kurang beruntung, ia belum sempat merasakan cinta seorang ayah. Biar saja kalau ibu meng-anak emas-kan dia.
            Sayang seribu sayang, sejak ayah meninggal, sholat lima waktu ibu sering bolong. Dulu ibu seorang muallaf sejak resmi menikah dengan ayahku. Ayah lah yang mengajar ibu segala hal tentang islam. Ayah pula yang mendidik kami tentang agama. Dulu aku dan si mas kembar sering dipukul ayah gara-gara meninggalkan sholat. Hingga sekarang, aku tak bisa melupakannya. Namun aku beruntung, hingga sekarang alhamdulillah aku tetap menjalankan sholat lima waktu dengan ditambah amalan-amalan sunat. Aku juga sudah berhijab sejak lulus SMP.
Sebagai anak yang masih tinggal serumah dengan ibu, sudah berulang kali aku mencoba mengingatkannya. Namun, justru aku dimarahi, terkadang dibilang sok alim. Perjuanganku mengingatkan ibu tak berhenti sampai di situ, aku terus mencoba mengingatkan ibu. Ditambah lagi dengan Adinda yang pengetahuan agamanya nol. Ia tak pernah sholat, namun tetap saja ibu membiarkannya. Terkadang Mas Danu dan Mas Rangga mampir ke rumah. Rupanya, nasihat mereka juga hasilnya nol.
            Suatu hari Adinda pulang sekolah membawa beberapa teman lelakinya, tak ada satu pun yang perempuan. Tentu saja hal ini membuatku merasa risih, apalagi tetangga kami sangat sinis melihatnya. Lagi-lagi, ibu malah membiarkan mereka.
            “ Dinda, istighfar. Kamu seorang perempuan. Berani sekali kamu membawa teman-teman lelakimu ke rumah ini.”
Please deh, Mba. Mereka kan temanku, bukan teman Mba Hening. Kok jadi Mba Hening yang repot? Bilang aja deh, Mba Hening iri kan sama Dinda? Karena Mba nggak secanti Dinda. Ya wajar saja kalau sampai sekarang nggak ada yang mau sama Mba.”
“ Dinda! Jaga ucapanmu!”
Hampir saja sebuah tamparan mendarat di pipi gadis itu, namun untung saja aku segera beristigfar. Dia adikku, sekali lagi adikku. Dia adalah amanat dari ayah. Sebelum ayah meninggal, ia sempat berpesan kepada kami agar menjaga Adinda, membimbing Adinda.
Baiklah, kali ini aku coba secara halus. Adinda bukan anak kecil lagi, kalau dikasari, pasti dia akan memberontak.
“ Dinda, kamu sangat cantik. Mba nggak ada apa-apanya dibanding kamu. Kamu pasti lebih cantik lagi kalau berjilbab. Coba deh kamu pakai jilbab.”
“ Mba Hening, Mba tahu sendiri kan. Dinda nggak suka pakai jilbab. Lagian jilbab kan untuk orang alim, rajin solat, bukan untuk orang seperti Dinda.”
“ Dinda, Mba Hening mau kok ngajari Dinda sholat. Mba selalu stand by 24 jam kapan pun Dinda mau belajar sholat.”
“ Sudahlah Mba, Mba urus saja diri Mba sendiri. Dinda sudah besar, nggak butuh diajari lagi. Urusan sholat dan urusan dosa biar Dinda yang tanggung. Ibu saja yang jarang sholat rejekinya nggak dikurangi, kok. Dinda juga masih muda Mba, umur Dinda masih panjang.”
“ Astaghfirullaahh, hanya Allah yang tahu usia kita. Dinda, Mba ingin kamu berubah.”
“ Sudahlah, Mba. Nggak penting.”
Perilaku Adinda makin hari makin menjadi. Menurut laporan teman-temannya, ia sering membolos. Bahkan, sudah seminggu ini ia absen. Padahal setiap hari Adinda selalu meminta izin pergi ke sekolah. Ibu akhir-akhir ini juga sakit-sakitan di atas kasurnya. Mulai jarang memperhatikan Adinda. Kata beberapa teman perempuannya, mereka sering memergoki Adinda bersama seorang laki-laki di alun-alun, ya hanya berdua. Adik perempuanku itu sungguh keterlaluan. Aku sendiri sudah tidak kuat lagi menghadapi perilakunya. Malam ini aku berencana mengundang Mas Rangga dan Mas Danu, biar mereka berdua yang menggempur adikku ini.
Aku, Mas Danu, dan Mas Rangga sudah stand by di ruang tamu. Hampir jam delapan, Adinda belum pulang juga. Handphone-nya juga tidak bisa dihubungi. Rasa cemas mulai menyelimuti kami. Adinda memang sering pulang sore, namun tidak pernah sampai malam seperti ini. Akhirnya kami berinisiatif mencarinya. Aku ke sekolahnya, Mas Danu ke rumah sahabat-sahabatnya, dan Mas Rangga ke tempat tongkrongan anak muda Jogja.
Sudah jam sepuluh malam. Usaha kami bertiga tidak membuahkan hasil. Ibu hanya bisa menangis menunggu anak kesayangannya itu. Kami semakin panik. Ke mana Adinda?
Di tengah kecemasan kami, telpon rumah berdering. Kuangkat gagang telpon. Suara seorang wanita.
“ Maaf, apa benar ini keluarga Adinda Larasati?” tanya wanita itu.
“ Ya, benar. Saya kakaknya.”
Mas Danu, Mas Rangga, dan Ibu cemas mendengarkan pembicaraan kami.
“ Maaf Mba, saat ini Adinda sedang kritis di rumah sakit kami. Ia mengalami kecelakaan.”
Tanganku gemetar hebat. Tanpa kusadari, telpon yang kupengang lepas dari genggamanku. Kami segera menyusul ke rumah sakit. Mas Danu memacu kencang mobilnya. Aku tak memperhatikan jarum speedometer menunjuk angka berapa. Yang aku ingat hanya adikku yang sedang kritis. Di sepanjang perjalanan, aku tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Adinda. Ibu dan kedua kakakku juga sama cemasnya.
  Setiba di rumah sakit, Adinda sudah terbaring tak sadarkan diri di atas kasur putih. Seragam sekolahnya masih berlumuran darah. Wajah cantiknya dipenuhi luka, begitu pula tangan dan kakinya.
Kata dokter, malam ini juga Adinda harus dioperasi. Kalau tidak, nyawanya bisa melayang. Tubuhnya kehilangan banyak sekali darah. Kaki kanannya harus diamputasi.
Kami segera menyetujui usulan dokter itu. Aku terus menunggui Adinda di sampingnya. Ibu hanya bisa duduk lemas menunggui anaknya. Matanya bengkak karena sedari tadi menangis. Aku tak bisa membayangkan seberapa besar kesedihannya. Sementara itu, si kembar menunggu di luar ruangan.
“ Mba Hening.”
Suara itu terdengar sangat lirih. Jemari gadis itu perlahan bergerak. Seolah memberikan isyarat kepada kami. Aku berlari memberi kabar bahagia ini kepada Mas Danu dan Mas Rangga.
“ Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Dinda,” ucap Mas Rangga.
“ Ibu, Mas Danu, Mas Rangga, Mb...Mba Hening, maafkan Dinda,” ucap gadis itu lirih. Air matanya perlahan meleleh. Baru kali ini aku melihat Adinda menangis, sungguh ia terlihat begitu tulus.
“ Sudahlah, Dinda. Kami semua sudah memaafkanmu,” ucapku sambil memegang tangan gadis itu.
“ Mba Hening, Dinda takut. Dinda takut kalau Allah nggak mau maafin Dinda. Selama ini Dinda sudah melupakan Allah.”
“ Istighfar Dinda, Allah Maha Pengampun. Allah pasti mengampunimu.”
“ Mba Hening, ajari Dinda sholat. Dinda ingin sholat. Dinda ingin menyebut nama Allah.”
Ruangan itu dipenuhi tangis haru. Ibu tak mampu berkata-kata lagi. Mas Kembar juga sama. Mereka tak kuasa melihat adik bungsunya yang tengah berjuang melawan maut. Lihatlah, Adinda ingin sholat. Ya, ingin sholat kepada Allah di tengah kondisinya yang kritis.
Kubimbing adikku tayamum di atas kasur. Dengan ditutupi mukena, kubimbing Adinda sholat. Aku tak kuat menahan haru melihat Adinda malam ini. Dia bukanlah Adinda yang biasanya.
 “ Allaahu akbar.” Adinda mengucap takbir lirih seraya mengangkat kedua tangannya.
Kubimbing dia mengucap doa iftitah, tapi Adinda diam saja. Bibirnya tak menirukan ucapanku lagi. Kelopak matanya menutup. Aku tidak mendengar hembus nafasnya lagi.
“ Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun.”
Ruangan itu berubah menjadi kelabu mengiringi kepergian Adinda. Adinda telah tiada. Lihatlah betapa cantik wajah Adinda dengan balutan mukena terakhirnya. Dia menghembuskan nafas terakhir setelah meminta maaf kepada kami. Dia menghembuskan nafas terakhir dengan menyebut asma Allah. Tak ada yang mengira sholat itu adalah sholat terakhir Adinda, sholat yang mengantar adik perempuanku itu kembali kepada satu-satunya pemilik hidup dan mati, Allah ‘Azza wa Jalla.

Kebumen, 21 Desember 2011 (19:32)






1 komentar:

Yuliana Setia Rahayu mengatakan...

tema dan ending cerpennya bagus.. ^,^
hanya tanda baca dan beberapa kata sj yg kurang pas..