Mama, Suapi Ara Untuk
Kali Ini Saja
Oleh Alfa Zahra Annisa
"Sebuah
renuangan untuk para orang tua.
Bukan
maksud menggurui, namun inilah fenomena yang sering terjadi saat ini."
PLAKKKK!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Bu Ratna. Mendapat perlakuan kasar itu,
amarahnya semakin memuncak.
“
Sudahlah, aku lelah dengan semua ini! Selama ini Papa selalu mencurigaiku
selingkuh dengan pria lain. Coba sadar diri! Siapa wanita yang semalam Papa
ajak ke mall hahh?!”
“
Lancang kamu! Istri macam apa kamu? Beraninya menuduh orang tanpa bukti.”
“
Aku punya buktinya. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, Papa bersama
seorang wanita di mall.”
Pertengkaran
mereka semakin hebat. Itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Hampir tiap malam
mereka beradu mulut. Tak jarang benda-benda di rumah itu ikut dibanting.
Gadis
mungil yang usianya baru empat tahun hanya bisa menangis di gendongan mba’nya,
sebutan untuk pembantu di rumah itu. Ia menyaksikan sendiri pertengkaran kedua
orang tuanya, namun ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia terlalu kecil
untuk mengetahui masalah orang dewasa. Yang jelas, setiap malam bocah itu
selalu menangis mendengar adu bentak yang dahsyat.
“
Mba, malam ini Ara bobo sama Mba lagi ya. Ara takut.” Gadis mungil itu semakin
erat memeluk Mba Sumi yang masih menggendongnya.
“
Iya sayang. Boleh kok. Ara boleh tidur sama mba kapan saja Ara mau. Tapi Ara
nggak kasihan sama Mama Ara? Mama Ara kan kepengin bobo sama Ara.”
“
Ara nggak mau bobo sama Mama. Mama sama Papa jahat. Ara takut dimarahin lagi
sama mereka.”
Rupanya
gadis itu masih ingat kejadian tiga hari lalu. Kedua orang tuanya tengah
bertengkar, permasalahannya masih sama, seputar perselingkuhan. Ah, entahlah
apa itu masalahnya, Ara nggak peduli. Saat itu Ara begitu merindukan mamanya.
Seharian ia tinggal di rumah bersama si Mba. Tanpa mempedulikan suasana saat
itu yang sedang panas, ia merengek minta disuapi mamanya. Ia ingin merasakan
hangatnya kasih sayang seorang ibu, seperti teman-teman bermainnya yang sering
disuapi ibunya.
Bukannya
disambut, pipi anak itu malah ditampar keras oleh ibu kandungnya sendiri.
Sontak ia menangis keras sekali. Bukannya sadar, sang ibu malah semakin emosi.
“
Dasar anak manja! Kamu bisa makan sendiri! Kamu harus mama hukum! Malam ini
kamu nggak boleh tidur sama mama!” kata-kata itu masih terngiang jelas di
telinga bocah polos itu.
“
Kamu lihat kan anakmu, masih sempat ya selingkuh? Kamu memang nggak becus jadi
ibu!” Sang ayah ikut menimpali.
“
Papa yang selama ini terlalu memanjakan Ara! Akhirnya dia jadi anak manja.”
Sang Ibu tak mau kalah.
Mba
Sumi langsung menggendong Ara ke kamarnya. Pipi bocah itu merah lebam. Ia tak
henti-hentinya menangis.
“
Kenapa ya mama jahat sama Ara? Ara kan cuma ingin disuapi mama.” Kalimat itu
sering sekali diucapkannya.
Hari-hari
Ara kini lebih sering dihabiskan untuk bermain barbie di kamar Mba Sumi. Tiada pilihan lain selain itu. Kalau ia
bermain di luar, tentu saja ia akan melihat kemesaraan teman-temannya bersama
ibu mereka. Hal itu akan membuatnya semakin cemburu.
Ara
juga semakin enggan menemui kedua orang tuanya meskipun sebenarnya ia begitu
menyayangi mereka. Bocah itu merasa kalau keberadaannya hanya mengganggu
mereka.
“
Mba, kenapa sih mama sama papa marahan terus? Apa jangan-jangan karena Ara ya?
Ara nakal ya Mba?”
“
Nggak sayang. Kamu nggak nakal. Ara kan anak baik. Papa sama mama Ara cuma
kecapean. Mereka kan seharian cari uang buat Ara, kalau sudah dapat uang, nanti
uangnya untuk beli permen. Ara mau kan dikasih permen?”
“
Tapi Ara nggak dikasih permen juga nggak papa. Ara nggak makan es krim lagi
juga nggak papa. Ara kepenginnya disuapin sama mama, dicium mama, digendong
mama. Ara kepengin kaya temen-temen Ara.”
Mba
Sumi hanya bisa terharu. Ia iba melihat bocah itu yang haus kasih sayang orang
tua. Kesibukan papa dan mama Ara bisa dibilang luar biasa. Mereka berangkat
kerja sebelum Ara bangun, pulang saat Ara menjelang tidur. Apalagi setelah
terjadi isu perselingkuhan di antara mereka, Ara dinomor sekiankan, bahkan tak
pernah diurus lagi.
Sudah
beberapa hari ini Ara sering mengeluh sakit di bagian perut dan punggungnya.
Sebenarnya sakit itu sudah lama dirasakannya, tapi ia takut mengeluh, bisa-bisa
malah dimarahi mama. Bocah itu rela menahan sakit luar biasa hanya karena takut
pada mama yang sangat dicintainya.
Secara
diam-diam, Mba Sumi membawa Ara ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Ara
mengidap kanker hati. Penyakit yang selama ini tak diketahui oleh satu orang
pun di rumahnya. Kata dokter, kanker yang menggerogoti Ara sudah mencapai
stadium lanjut. Satu-satunya langkah akhir hanyalah pencangkokan hati.
Bocah
manis itu terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Sudah tiga hari ia
terbaring lemas. Tiga hari pula ia menanti kedatangan mamanya yang masih ada
kepentingan di luar kota. Kemarin papa
Ara memang sempat menjenguk, namun sebentar sekali. Katanya ada urusan yang
lebih penting di kantor dengan mitra kerjanya.
“
Ara, buburnya dimakan dulu ya. Enak lho.” Mba Sumi berusaha merayu bocah itu
agar mau makan.
“
Nggak mau. Pokoknya Ara mau makan kalau disuapi mama.” Perlahan air mata bocah
itu meleleh. Ia begitu rindu pada
mamanya hingga tak kuasa menahan air mata.
“
Mba Sumi janji deh. Kali ini Mba Sumi yang suapi Ara. Tapi besok mamanya Ara
yang nyuapi. Gimana? Ara mau kan?”
“
Tapi Mba sumi janji ya?”
“
Iya Sayang.”
Tanpa
diduga oleh seorang pun, itu adalah hari terakhir Ara menghabiskan hidupnya
yang baru sebentar di dunia. Operasi cangkok hatinya gagal. Papa Ara menangis
tak henti-hentinya. Ia menyesal karena selama ini sering mengabaikan Ara, anak
tunggalnya. Ia sengaja tak memberi tahu hal ini kepada istrinya yang sedang
dalam perjalanan pulang. Ia khawatir kalau konsentrasinya pecah, sehingga
membahayakan keselamatannya di jalan.
Mba
Sumi menunggu Ara yang sedang dikafani. Ia duduk di luar ruang mayat dengan
berlinangan air mata.
“
Mana Ara, Sum? Mana Ara?” Seorang wanita
datang dengan wajah begitu khawatir. Rupanya dia mama Ara. Ia membawa makanan
kesukaan Ara.
“ Ara ada di dalam, Nyonya.”
“
Ini kan ruang mayat, Sum. Apa yang terjadi pada Ara?”
Belum
sempat Mba Sumi menjawab, wanita itu langsung masuk ke ruang mayat. Air matanya
mengucur deras. Suaminya hanya berdiri terpaku melihat gadis mungil itu dibalut
kain putih.
“
Ara, ini mama, sayang. Mama bawa makanan kesukaan kamu. Mama mau suapi kamu.
Kamu sendiri kan yang minta disuapi mama. Sekarang mama ada di sini, Ara
Sayang. Bangun, Nak.”
Wanita
itu tersungkur ke lantai. Ia tak kuasa menghadapi kenyataan. Anak yang selama
ini diabaikannya kini telah tiada. Di saat ia ingin menyuapinya, Allah lebih
dulu mengambil Ara. Gadis manis yang tak berdosa.
Kebumen,
19 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar