Senin, 19 Desember 2011

Mama, suapi Ara Untuk kali ini saja


Mama, Suapi Ara Untuk Kali Ini Saja
Oleh Alfa Zahra Annisa

"Sebuah renuangan untuk para orang tua.
Bukan maksud menggurui, namun inilah fenomena yang sering  terjadi saat ini."


PLAKKKK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Bu Ratna. Mendapat perlakuan kasar itu, amarahnya semakin memuncak.
“ Sudahlah, aku lelah dengan semua ini! Selama ini Papa selalu mencurigaiku selingkuh dengan pria lain. Coba sadar diri! Siapa wanita yang semalam Papa ajak ke mall hahh?!”
“ Lancang kamu! Istri macam apa kamu? Beraninya menuduh orang tanpa bukti.”
“ Aku punya buktinya. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, Papa bersama seorang wanita di mall.”
Pertengkaran mereka semakin hebat. Itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Hampir tiap malam mereka beradu mulut. Tak jarang benda-benda di rumah itu ikut dibanting.
Gadis mungil yang usianya baru empat tahun hanya bisa menangis di gendongan mba’nya, sebutan untuk pembantu di rumah itu. Ia menyaksikan sendiri pertengkaran kedua orang tuanya, namun ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia terlalu kecil untuk mengetahui masalah orang dewasa. Yang jelas, setiap malam bocah itu selalu menangis mendengar adu bentak yang dahsyat.
“ Mba, malam ini Ara bobo sama Mba lagi ya. Ara takut.” Gadis mungil itu semakin erat memeluk Mba Sumi yang masih menggendongnya.
“ Iya sayang. Boleh kok. Ara boleh tidur sama mba kapan saja Ara mau. Tapi Ara nggak kasihan sama Mama Ara? Mama Ara kan kepengin bobo sama Ara.”
“ Ara nggak mau bobo sama Mama. Mama sama Papa jahat. Ara takut dimarahin lagi sama mereka.”
Rupanya gadis itu masih ingat kejadian tiga hari lalu. Kedua orang tuanya tengah bertengkar, permasalahannya masih sama, seputar perselingkuhan. Ah, entahlah apa itu masalahnya, Ara nggak peduli. Saat itu Ara begitu merindukan mamanya. Seharian ia tinggal di rumah bersama si Mba. Tanpa mempedulikan suasana saat itu yang sedang panas, ia merengek minta disuapi mamanya. Ia ingin merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu, seperti teman-teman bermainnya yang sering disuapi ibunya.
Bukannya disambut, pipi anak itu malah ditampar keras oleh ibu kandungnya sendiri. Sontak ia menangis keras sekali. Bukannya sadar, sang ibu malah semakin emosi.
“ Dasar anak manja! Kamu bisa makan sendiri! Kamu harus mama hukum! Malam ini kamu nggak boleh tidur sama mama!” kata-kata itu masih terngiang jelas di telinga bocah polos itu.
“ Kamu lihat kan anakmu, masih sempat ya selingkuh? Kamu memang nggak becus jadi ibu!” Sang ayah ikut menimpali.
“ Papa yang selama ini terlalu memanjakan Ara! Akhirnya dia jadi anak manja.” Sang Ibu tak mau kalah.
Mba Sumi langsung menggendong Ara ke kamarnya. Pipi bocah itu merah lebam. Ia tak henti-hentinya menangis.
“ Kenapa ya mama jahat sama Ara? Ara kan cuma ingin disuapi mama.” Kalimat itu sering sekali diucapkannya.
Hari-hari Ara kini lebih sering dihabiskan untuk bermain barbie di kamar Mba Sumi. Tiada pilihan lain selain itu. Kalau ia bermain di luar, tentu saja ia akan melihat kemesaraan teman-temannya bersama ibu mereka. Hal itu akan membuatnya semakin cemburu.
Ara juga semakin enggan menemui kedua orang tuanya meskipun sebenarnya ia begitu menyayangi mereka. Bocah itu merasa kalau keberadaannya hanya mengganggu mereka.
“ Mba, kenapa sih mama sama papa marahan terus? Apa jangan-jangan karena Ara ya? Ara nakal ya Mba?”
“ Nggak sayang. Kamu nggak nakal. Ara kan anak baik. Papa sama mama Ara cuma kecapean. Mereka kan seharian cari uang buat Ara, kalau sudah dapat uang, nanti uangnya untuk beli permen. Ara mau kan dikasih permen?”
“ Tapi Ara nggak dikasih permen juga nggak papa. Ara nggak makan es krim lagi juga nggak papa. Ara kepenginnya disuapin sama mama, dicium mama, digendong mama. Ara kepengin kaya temen-temen Ara.”
Mba Sumi hanya bisa terharu. Ia iba melihat bocah itu yang haus kasih sayang orang tua. Kesibukan papa dan mama Ara bisa dibilang luar biasa. Mereka berangkat kerja sebelum Ara bangun, pulang saat Ara menjelang tidur. Apalagi setelah terjadi isu perselingkuhan di antara mereka, Ara dinomor sekiankan, bahkan tak pernah diurus lagi.
Sudah beberapa hari ini Ara sering mengeluh sakit di bagian perut dan punggungnya. Sebenarnya sakit itu sudah lama dirasakannya, tapi ia takut mengeluh, bisa-bisa malah dimarahi mama. Bocah itu rela menahan sakit luar biasa hanya karena takut pada mama yang sangat dicintainya.
Secara diam-diam, Mba Sumi membawa Ara ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Ara mengidap kanker hati. Penyakit yang selama ini tak diketahui oleh satu orang pun di rumahnya. Kata dokter, kanker yang menggerogoti Ara sudah mencapai stadium lanjut. Satu-satunya langkah akhir hanyalah pencangkokan hati.
Bocah manis itu terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Sudah tiga hari ia terbaring lemas. Tiga hari pula ia menanti kedatangan mamanya yang masih ada kepentingan di luar kota.  Kemarin papa Ara memang sempat menjenguk, namun sebentar sekali. Katanya ada urusan yang lebih penting di kantor dengan mitra kerjanya.
“ Ara, buburnya dimakan dulu ya. Enak lho.” Mba Sumi berusaha merayu bocah itu agar mau makan.
“ Nggak mau. Pokoknya Ara mau makan kalau disuapi mama.” Perlahan air mata bocah itu meleleh. Ia  begitu rindu pada mamanya hingga tak kuasa menahan air mata.
“ Mba Sumi janji deh. Kali ini Mba Sumi yang suapi Ara. Tapi besok mamanya Ara yang nyuapi. Gimana? Ara mau kan?”
“ Tapi Mba sumi janji ya?”
“ Iya Sayang.”
Tanpa diduga oleh seorang pun, itu adalah hari terakhir Ara menghabiskan hidupnya yang baru sebentar di dunia. Operasi cangkok hatinya gagal. Papa Ara menangis tak henti-hentinya. Ia menyesal karena selama ini sering mengabaikan Ara, anak tunggalnya. Ia sengaja tak memberi tahu hal ini kepada istrinya yang sedang dalam perjalanan pulang. Ia khawatir kalau konsentrasinya pecah, sehingga membahayakan keselamatannya di jalan.
Mba Sumi menunggu Ara yang sedang dikafani. Ia duduk di luar ruang mayat dengan berlinangan air mata.
“ Mana Ara, Sum? Mana Ara?”  Seorang wanita datang dengan wajah begitu khawatir. Rupanya dia mama Ara. Ia membawa makanan kesukaan Ara.
 “ Ara ada di dalam, Nyonya.”
“ Ini kan ruang mayat, Sum. Apa yang terjadi pada Ara?”
Belum sempat Mba Sumi menjawab, wanita itu langsung masuk ke ruang mayat. Air matanya mengucur deras. Suaminya hanya berdiri terpaku melihat gadis mungil itu dibalut kain putih.
“ Ara, ini mama, sayang. Mama bawa makanan kesukaan kamu. Mama mau suapi kamu. Kamu sendiri kan yang minta disuapi mama. Sekarang mama ada di sini, Ara Sayang. Bangun, Nak.”
Wanita itu tersungkur ke lantai. Ia tak kuasa menghadapi kenyataan. Anak yang selama ini diabaikannya kini telah tiada. Di saat ia ingin menyuapinya, Allah lebih dulu mengambil Ara. Gadis manis yang tak berdosa.
Kebumen, 19 Desember 2011

Tidak ada komentar: