Rabu, 22 Februari 2012

Duhai engkau yang tergoreskan di Lauhul Mahfudz-Nya...


            Sungguh, kebesaran Tuhanku yang mana yang pantas kusangsikan? Bukankah segalanya telah tertulis rapi di catatan takdir-Nya? Segalanya tentang engkau, tentang daku, tentang kita. Tentang sebuah cerita penantian yang tak kutahu di mana akhirnya.
            Engkau. Engkau. Engkau. Sebuah kata yang terkadang menguras hati. Laksana bayang-bayang di balik pelita malam.  Namun, terlalu sulit bagiku tuk menangkap bayangmu. Aku sadar, bayangmu hanyalah fatamorgana. Bayangmu sebuah ilusi yang kan jadi nyata. Namun, belumlah saatnya kita bersua. Biarlah tabir waktu yang kan menyatukan kelak dalam sebuah bahagia yang membuncah, dalam naungan indahnya sinar fajar yang merona.
            Engkau, Ikhwan yang dalam bisu kurindu, dalam gelap kucari, dalam sepi kunanti. Lagi-lagi aku terbangun, tersadar, lalu terjaga. Dan... “Di mana kau? Bagaimana kabarmu?  Baik-baik sajakah? Jangan menangis, jangan bersedih.”
            Duhai ikhwan, tahukah dikau? Aku masih di sini. Ya, masih di sini menanti engkau. Adakah di sana kau juga menantiku? Wallahu a’lam.
            Sesungguhnya tak pantaslah aku menantimu. Siapalah aku? Aku hanya wanita biasa yang tak luput dari segala kekurangan. Wajahku tak secantik wanita dambaanmu. Aku tak mungkin menjelma menjadi Cleopatra yang menaklukkan sesosok Julius Caesar. Bukanlah paras elok nan menawan yang ku punya, hanyalah wajah standar yang tak mampu menyembunyikan setiap ungkapan suka dan duka. Tapi sungguh, aku mensyukuri karunia ini. Bukankah Allah telah menciptakan makhluk dalam bentuk yang sebaik-baiknya? Hanyalah kecantikan hati yang abadi, dan semoga aku mampu meraihnya. Aku juga bukanlah wanita hebat yang menjadi pujaan umat. Aku hanya seorang insan yang terus mencoba berbenah diri. Dengan ikhtiar dan tawakal, semoga Allah meridhoi setiap langkah kecilku. Amin.
            Ya Akhi, ana ahabbaka fillah. Biarlah ungkapan cintaku padamu indah pada waktunya. Sesungguhnya cintaku padamu hanyalah bagian dari cinta yang hakiki, cinta kepada pencipta segala cinta. Namun, semoga cinta kita kelak kan terikat dalam satu bahtera kecil. Bahtera yang akan mengantarkan cinta kecil ini kepada jannah-Nya.
            Wahai calon imamku kelak, persiapkanlah dirimu. Aku tak menuntut hartamu. Aku tak meminta tahtamu. Cukuplah iman dan islammu yang kan menjadi petunjuk arah bahtera kita. Janganlah pernah kau biarkan Al Qur’an di rumahmu gersang, terkalahkan oleh lembaran tebal ilmu dunia. Siramlah hatimu dengan al qur’an. Ku ingin kelak kau mengajarkan kepada anak-anakku mengeja huruf alif, membaca huruf ba, menulis huruf ta, dan menanamkan pribadi yang qur’ani.
            Duhai calon ayah dari anak-anakku, jagalah dirimu baik-baik. Insya Allah aku akan tetap di sini menyiapakan segalanya untukmu, untuk anak-anak kita. Doakanlah aku agar kelak pantas menjadi sosok yang kau damba, sosok yang insya Allah akan menjaga kesetiaan walau tiadalah seperti para teladan Khadijah, Aisyah, dan Fatimah putri Rasul. Dan di sini aku tetaplah wanita biasa yang tak pantas kau puja-puja melebihi cintamu pada Tuhanku, Allah Azza Wa Jalla.
22 Februari 2012 (21:08)