SHOLAT
TERAKHIR ADINDA
Oleh
Alfa Zahra Annisa
Ketika
hidup dan mati ada di tangan-Nya, pantaskah kita menolak datangnya akhir sebuah
kehidupan? Namun, sudah siapkah tatkala Izrail datang memanggil?
Sudah berapa kali
kuingatkan gadis itu sampai-sampai ucapanku hanya ibarat angin lewat belaka.
Ibuku yang usianya semakin senja pun sudah lelah memikirkan anak bungsunya itu.
Hampir tiap hari aku, ibu, dan kedua masku berusaha memperbaikinya, mulai dari
cara halus hingga mengurungnya dalam kamar selama seminggu. Namun, ia tetap
saja membuat kami gemes dengan
perilaku-perilaku nakalnya.
Aku anak ke-tiga dari empat bersaudara. Namaku Hening,
saat ini sedang menyelesaikan skripsiku untuk meraih S1 jurusan akuntansi di
salah satu universitas Negeri di Jogjakarta. Dari empat bersaudara itu, ada dua
laki-laki, si kembar mas Danu dan mas Rangga yang masing-masing sudah
berkeluarga. Aku terbilang sangat dekat dengan kedua masku itu dibanding dengan
adikku, Adinda namanya, sekarang kelas 2 SMA. Di antara kami berempat, Adinda-lah
yang paling dimanja ibu. Wajar saja, saat Adinda baru berusia tiga bulan, ayah
meninggal dunia. Kanker hatinya sudah tidak mungkin disembuhkan lagi. Saat itu
ibu benar-benar terpukul. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga di samping
mengurus adikku yang masih bayi. Untunglah, waktu itu Mas Danu dan Mas Rangga
mendapat beasiswa kuliah, setidaknya meringankan beban ibuku.
Adinda tumbuh besar tanpa kekurangan kasih sayang sedikit
pun dari ibu. Apa pun yang dimintanya pasti selalu dituruti, apalagi usaha
batik ibu berkembang pesat. Berapa pun yang Adinda minta, pasti ibu beri. Kalau
dibandingkan, Adinda memang jauh lebih cantik dariku. Tinggi semampai, rambut
lurus sebahu, mata lentik, hidung mancung, dan warna kulit putih langsat
melekat di tubuhnya. Sedangkan aku? Aku tidak lebih tinggi darinya. Kulitku
hitam. Jerawatku tak pernah usai menghiasi wajah ini. Hidungku pesek. Ah, tak
perlu disesali. Ini ciptaan Tuhan. Ibu sering sekali membandingkan kami, tapi
tak apalah. Bagaimana pun, Adinda adalah adikku yang kurang beruntung, ia belum
sempat merasakan cinta seorang ayah. Biar saja kalau ibu meng-anak emas-kan
dia.
Sayang seribu sayang, sejak ayah meninggal, sholat lima
waktu ibu sering bolong. Dulu ibu seorang muallaf sejak resmi menikah dengan
ayahku. Ayah lah yang mengajar ibu segala hal tentang islam. Ayah pula yang
mendidik kami tentang agama. Dulu aku dan si mas kembar sering dipukul ayah
gara-gara meninggalkan sholat. Hingga sekarang, aku tak bisa melupakannya.
Namun aku beruntung, hingga sekarang alhamdulillah aku tetap menjalankan sholat
lima waktu dengan ditambah amalan-amalan sunat. Aku juga sudah berhijab sejak
lulus SMP.
Sebagai
anak yang masih tinggal serumah dengan ibu, sudah berulang kali aku mencoba
mengingatkannya. Namun, justru aku dimarahi, terkadang dibilang sok alim. Perjuanganku
mengingatkan ibu tak berhenti sampai di situ, aku terus mencoba mengingatkan ibu.
Ditambah lagi dengan Adinda yang pengetahuan agamanya nol. Ia tak pernah
sholat, namun tetap saja ibu membiarkannya. Terkadang Mas Danu dan Mas Rangga
mampir ke rumah. Rupanya, nasihat mereka juga hasilnya nol.
Suatu hari Adinda pulang sekolah membawa beberapa teman
lelakinya, tak ada satu pun yang perempuan. Tentu saja hal ini membuatku merasa
risih, apalagi tetangga kami sangat sinis melihatnya. Lagi-lagi, ibu malah
membiarkan mereka.
“ Dinda, istighfar. Kamu seorang perempuan. Berani sekali
kamu membawa teman-teman lelakimu ke rumah ini.”
“
Please deh, Mba. Mereka kan temanku,
bukan teman Mba Hening. Kok jadi Mba Hening yang repot? Bilang aja deh, Mba
Hening iri kan sama Dinda? Karena Mba nggak secanti Dinda. Ya wajar saja kalau
sampai sekarang nggak ada yang mau sama Mba.”
“
Dinda! Jaga ucapanmu!”
Hampir
saja sebuah tamparan mendarat di pipi gadis itu, namun untung saja aku segera
beristigfar. Dia adikku, sekali lagi adikku. Dia adalah amanat dari ayah. Sebelum
ayah meninggal, ia sempat berpesan kepada kami agar menjaga Adinda, membimbing
Adinda.
Baiklah,
kali ini aku coba secara halus. Adinda bukan anak kecil lagi, kalau dikasari,
pasti dia akan memberontak.
“
Dinda, kamu sangat cantik. Mba nggak ada apa-apanya dibanding kamu. Kamu pasti
lebih cantik lagi kalau berjilbab. Coba deh kamu pakai jilbab.”
“
Mba Hening, Mba tahu sendiri kan. Dinda nggak suka pakai jilbab. Lagian jilbab
kan untuk orang alim, rajin solat, bukan untuk orang seperti Dinda.”
“
Dinda, Mba Hening mau kok ngajari Dinda sholat. Mba selalu stand by 24 jam kapan pun Dinda mau belajar sholat.”
“
Sudahlah Mba, Mba urus saja diri Mba sendiri. Dinda sudah besar, nggak butuh
diajari lagi. Urusan sholat dan urusan dosa biar Dinda yang tanggung. Ibu saja
yang jarang sholat rejekinya nggak dikurangi, kok. Dinda juga masih muda Mba, umur Dinda masih panjang.”
“
Astaghfirullaahh, hanya Allah yang tahu usia kita. Dinda, Mba ingin kamu
berubah.”
“
Sudahlah, Mba. Nggak penting.”
Perilaku
Adinda makin hari makin menjadi. Menurut laporan teman-temannya, ia sering
membolos. Bahkan, sudah seminggu ini ia absen. Padahal setiap hari Adinda
selalu meminta izin pergi ke sekolah. Ibu akhir-akhir ini juga sakit-sakitan di
atas kasurnya. Mulai jarang memperhatikan Adinda. Kata beberapa teman
perempuannya, mereka sering memergoki Adinda bersama seorang laki-laki di
alun-alun, ya hanya berdua. Adik perempuanku itu sungguh keterlaluan. Aku
sendiri sudah tidak kuat lagi menghadapi perilakunya. Malam ini aku berencana
mengundang Mas Rangga dan Mas Danu, biar mereka berdua yang menggempur adikku
ini.
Aku,
Mas Danu, dan Mas Rangga sudah stand by
di ruang tamu. Hampir jam delapan, Adinda belum pulang juga. Handphone-nya juga
tidak bisa dihubungi. Rasa cemas mulai menyelimuti kami. Adinda memang sering
pulang sore, namun tidak pernah sampai malam seperti ini. Akhirnya kami
berinisiatif mencarinya. Aku ke sekolahnya, Mas Danu ke rumah
sahabat-sahabatnya, dan Mas Rangga ke tempat tongkrongan anak muda Jogja.
Sudah
jam sepuluh malam. Usaha kami bertiga tidak membuahkan hasil. Ibu hanya bisa
menangis menunggu anak kesayangannya itu. Kami semakin panik. Ke mana Adinda?
Di
tengah kecemasan kami, telpon rumah berdering. Kuangkat gagang telpon. Suara
seorang wanita.
“
Maaf, apa benar ini keluarga Adinda Larasati?” tanya wanita itu.
“
Ya, benar. Saya kakaknya.”
Mas
Danu, Mas Rangga, dan Ibu cemas mendengarkan pembicaraan kami.
“
Maaf Mba, saat ini Adinda sedang kritis di rumah sakit kami. Ia mengalami
kecelakaan.”
Tanganku
gemetar hebat. Tanpa kusadari, telpon yang kupengang lepas dari genggamanku.
Kami segera menyusul ke rumah sakit. Mas Danu memacu kencang mobilnya. Aku tak
memperhatikan jarum speedometer menunjuk angka berapa. Yang aku ingat hanya
adikku yang sedang kritis. Di sepanjang perjalanan, aku tak henti-hentinya
berdoa untuk keselamatan Adinda. Ibu dan kedua kakakku juga sama cemasnya.
Setiba
di rumah sakit, Adinda sudah terbaring tak sadarkan diri di atas kasur putih.
Seragam sekolahnya masih berlumuran darah. Wajah cantiknya dipenuhi luka,
begitu pula tangan dan kakinya.
Kata
dokter, malam ini juga Adinda harus dioperasi. Kalau tidak, nyawanya bisa
melayang. Tubuhnya kehilangan banyak sekali darah. Kaki kanannya harus diamputasi.
Kami
segera menyetujui usulan dokter itu. Aku terus menunggui Adinda di sampingnya.
Ibu hanya bisa duduk lemas menunggui anaknya. Matanya bengkak karena sedari
tadi menangis. Aku tak bisa membayangkan seberapa besar kesedihannya. Sementara
itu, si kembar menunggu di luar ruangan.
“
Mba Hening.”
Suara
itu terdengar sangat lirih. Jemari gadis itu perlahan bergerak. Seolah
memberikan isyarat kepada kami. Aku berlari memberi kabar bahagia ini kepada
Mas Danu dan Mas Rangga.
“
Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Dinda,” ucap Mas Rangga.
“
Ibu, Mas Danu, Mas Rangga, Mb...Mba Hening, maafkan Dinda,” ucap gadis itu
lirih. Air matanya perlahan meleleh. Baru kali ini aku melihat Adinda menangis,
sungguh ia terlihat begitu tulus.
“
Sudahlah, Dinda. Kami semua sudah memaafkanmu,” ucapku sambil memegang tangan
gadis itu.
“
Mba Hening, Dinda takut. Dinda takut kalau Allah nggak mau maafin Dinda. Selama
ini Dinda sudah melupakan Allah.”
“
Istighfar Dinda, Allah Maha Pengampun. Allah pasti mengampunimu.”
“
Mba Hening, ajari Dinda sholat. Dinda ingin sholat. Dinda ingin menyebut nama
Allah.”
Ruangan
itu dipenuhi tangis haru. Ibu tak mampu berkata-kata lagi. Mas Kembar juga
sama. Mereka tak kuasa melihat adik bungsunya yang tengah berjuang melawan maut.
Lihatlah, Adinda ingin sholat. Ya, ingin sholat kepada Allah di tengah
kondisinya yang kritis.
Kubimbing
adikku tayamum di atas kasur. Dengan ditutupi mukena, kubimbing Adinda sholat.
Aku tak kuat menahan haru melihat Adinda malam ini. Dia bukanlah Adinda yang
biasanya.
“ Allaahu akbar.” Adinda mengucap takbir lirih
seraya mengangkat kedua tangannya.
Kubimbing
dia mengucap doa iftitah, tapi Adinda diam saja. Bibirnya tak menirukan
ucapanku lagi. Kelopak matanya menutup. Aku tidak mendengar hembus nafasnya
lagi.
“
Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun.”
Ruangan
itu berubah menjadi kelabu mengiringi kepergian Adinda. Adinda telah tiada. Lihatlah
betapa cantik wajah Adinda dengan balutan mukena terakhirnya. Dia menghembuskan
nafas terakhir setelah meminta maaf kepada kami. Dia menghembuskan nafas
terakhir dengan menyebut asma Allah. Tak ada yang mengira sholat itu adalah
sholat terakhir Adinda, sholat yang mengantar adik perempuanku itu kembali
kepada satu-satunya pemilik hidup dan mati, Allah ‘Azza wa Jalla.
Kebumen,
21 Desember 2011 (19:32)