Sabtu, 25 Juni 2011

BERJUANGLAH BUNDA (SUBJUDUL KEDUA DARI NOVEL " BUNDA UNTUK ZAHRA"

Wanita itu melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaiannya disertai senyum perpisahan. Jilbab birunya tersapu angin sore yang mengiringi perjalanan pulangnya. Lama-lama dia menghilang dari pandangan mataku seiring terus berjalannya ojek motor itu. Aku kembali memasuki rumah sakit yang mulai ramai dikunjungi para pembesuk
“ Tante Hana sudah pulang, Nak?”
“ Sudah Bunda, tadi Zahra antar Tante Hana sampai depan gerbang. Dia naik ojek.”
Sudah seminggu ini bunda harus terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Sejak tiga tahun lalu bunda harus berjuang melawan kanker yang bersarang di otaknya. Berulang kali ia keluar masuk rumah sakit. Berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan. Bahkan, sempat satu kali ayah membawa bunda berobat ke Singapura. Tapi apalah daya manusia, Allah belum memberikan kesembuhan itu buat bunda.
Kini rumah sakit bagaikan rumah keduaku. Pulang sekolah selalu ku sempatkan untuk menjenguk bunda. Aku menggantikan posisi Bi Inem, orang yang tak pantas jika ku sebut pembantu, bagiku ia lebih pantas ku anggap seperti keluarga sendiri. Kalau aku sudah di rumah sakit, Bi Inem yang pulang mengurus keperluan di rumah. Sedangkan ayah baru bisa pulang sekitar jam lima sore dari kantornya.
Bundaku adalah orang yang penuh semangat dan keoptimisan. She is my super hero, mungkin itulah julukan terbaik untuknya. Walau kini penyakit ganas menyertainya, tak pernah sekalipun bunda menampakkan keputus asaan. Dia tetap optimis bahwa Allah memberinya penyakit sebagai ujian, maka dia harus lulus dan bertawakal to be the champion.
“ Assalamu’alaikum,” terdengar suara seorang lelaki mengucapkan salam dari luar pintu.
“ Wa’alaikum salaam,”
Ayah yang baru saja pulang dari kantor langsung menuju rumah sakit. Ku lihat raut wajahnya dipenuhi sinar kelelahan. Demi bunda, ayah rela menyingkirkan segala penatnya setelah seharian berhadapan dengan berbagai urusan di kantor.
“ Ayah sudah makan?” biarpun bunda dalam keadaan tak berdaya, ia tak pernah sekalipun lupa memperhatikan suaminya. Sungguh, aku salut pada bunda. Ia benar-benar wanita luar biasa. Semoga saja bunda termasuk wanita yang dirindu surga. Amiin...
“ Tadi ayah sudah makan di kantor. Bunda di sini baik-baik saja kan?” tanya ayah sambil mengelus kepala bunda.
“ Alhamdulillah... Ayah tenang saja. Ada Bi Inem sama Zahra yang selalu di sini. Tadi Hana datang kemari menjengukku. Ia juga menanyakan kabar ayah. Ada salam darinya” kata bunda dengan suaranya yang lirih.
“ Oh ya? Sudah lama sekali aku tak berjumpa Hana. Dia pasti tetap ramah seperti dulu kan? Semoga saja kedatangannya bisa menjadi obat buat Bunda,” kata ayah dengan raut wajah yang lebih sumringah.
“ Iya, dia banyak bercerita tentang pendidikan S2-nya. Baru saja kembali dari Kairo. ”
“ Subhanallah, hebat sekali wanita seperti Hana. Beruntung sekali ya suaminya,”
“ Hingga sekarang dia belum bermahrom, katanya ingin lebih fokus pada pekerjaannya. Padahal dulu dia begitu dipuja-puja kaum adam. Ya, begitulah yang namanya belum jodoh.”
“ Ehm, ayah, kita ke mushola yuk! Sudah adzan nih,” aku memotong pembicaraan ayah dan bunda.
Entah mengapa kali ini aku kurang suka mendengar ayah memuji Tante Hana, sahabat bunda. Dia memang ramah, pintar, dan ... cantik sih. Tapi... hati kecilku tak rela jika ayah memuji Tante Hana. Jarang sekali aku mendengar ayah memuji orang hingga se-excessive itu, termasuk kepada bunda. Harusnya ayah memuji bunda yang jauh lebih hebat. Bagiku bunda jauh lebih ramah, cerdas, dan cantik tentunya dibandingkan Tante Hana.
Wajah tirus bunda dengan kepala tak berambut mulai bergerak. Mata cekungnya yang dulu penuh keoptimisan dan keceriaan, kini ia memandangiku dan mengerjap layu. Seakan ada hal yang ingin diungkapkannya. Ku sudahi tilawahku. Ku hampiri tubuhnya yang terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Ku genggam tangannya yang penuh kelembutan.
“ Kenapa bunda? Kepala bunda sakit?” tanyaku.
“ Nggak Zahra sayang, ayah mana Nak?”
“ Ayah lagi di mushola. Tadi sih katanya mau sholat isya.”
“ Nak, bunda cuma ingin peluk Zahra,” katanya lirih.
Ku peluk tubuhnya yang semakin kurus. Aku merasakan betapa hangatnya kasih sayang Bunda. Siapa lagi wanita yang menyayangiku sehangat ini selain bunda, apalagi aku hanya anak tunggal. Perlahan air mataku membasahi pipi. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, saat dulu bunda masih sehat. Sejak terserang kanker otak tiga tahun yang lalu, jarang sekali bunda memelukku.
“ Zahra sayang sama Bunda, kan?”
“ Iya Bunda, Zahra sayaaang sekali sama Bunda.”
Sudah sekian malam aku sering melihat bunda menangis. Meski ku tahu bunda adalah wanita yang kuat, dia tetaplah manusia biasa. Dia bukanlah Fatimah Azzahra yang memiliki ketabahan bak karang di lautan. Selama ini bunda selalu berusaha kuat di hadapanku. Dia selalu berusaha menutup-tutupi rasa sakitnya. Kalau aku di posisi bunda, tak bisa ku bayangkan bagaimana sakitnya. Ya Allah, kuatkan Bundaku ... .
“ Akhir-akhir ini Zahra sering liat Bunda nangis. Kenapa Bun?” tanyaku.
“ Tidak apa-apa, sayang. Bunda cuma takut kehilangan kamu, Nak.”
Ku hapus air matanya yang mulai membasahi pipi. Ia mendekapku semakin erat. Ya Allah ... aku benar-benar tak ingin kehilangan bunda.
Aku benar-benar tak kuasa menahan pilu. Bundaku yang dulu selalu bersemangat, kini ia hanya bisa menahan rasa sakit yang luar biasa. Kalau mungkin, sungguh aku mau menggantikan posisinya di kasur putih itu. Biar aku yang berjuang melawan rasa sakit itu asalkan Bunda bisa seperti dulu.
Tengah malam aku terbangun. Ku tinggalkan Bunda yang sedang tertidur pulas. Begitu pula ayah yang tertidur di kursi menyandarkan kepala di dekat tangan bunda. Suasana rumah sakit sangat lengang, hanya beberapa perawat yang jaga malam terlihat sedang bercengkrama menghilangkan kantuk. Dingin yang menusuk tulang memaksaku memakai sweater hadiah ulang tahun dari ayah. Ku masuki mushola rumah sakit yang hampa tanpa pengunjungnya. Mereka sedang tenggelam dalam mimpi indahnya, pikirku. Percikan air wudhu membasahi wajahku. Rasa kantuk seketika lenyap tak kuasa menahan dinginnya air yang mengalir dari kran. Aku berdiri menghadap Rabb-ku dalam rangkaian tahajjud. Selayaknya sajadah yang senantiasa dibasahi air mata tahajjud seorang hamba, dunia ini adalah sebuah keniscayaan untuk tetap berdiri di tengah badai kehidupan. Seorang hamba yang terkulai lemah tak berdaya di hadapanNya, menghiba-mengemis pertolonganNya.
“Ya Rabb seru sekalian alam, hamba bersimpuh di hadapanMu. Ya Rabbil ‘aalamiin, hamba yakin Engkau menyembunyikan rencana di balik tanganMu. Entah rencana apa yang sudah kau susun, hamba hanya bisa mengikuti permainanMu. Jalan rahmat Mu tidaklah mudah, penuh dengan perjuangan dan derai air mata . Tapi ya Allah, kalau Engkau izinkan, sembuhkan bundaku. Salah apa bunda hingga Engkau memberinya ujian seberat itu? Tak cukupkah penderitaan bunda selama ini? Akhiri penderitaannya Ya Allah ... Jadikan setiap rasa sakitnya sebagai penghapus dosa-dosanya. Kembalikan bunda yang dulu, bunda yang selalu bersemangat menjalani setiap detiknya. Kembalikan dia ke pelukanku Ya Rabb. Berikan kami waktu lebih lama tuk bersamanya. Golongkanlah dia sebagai wanita yang dirindu surga bersama para wanita sholihah. Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirotii hasanah, waqinaa ngadzaabannaar.”
Indahnya langit Jakarta pagi ini menaungi perjalananku ke sekolah. Kali ini aku tak berangkat bersama ayah. Sebuah taksi membawaku hingga di depan SMA Mandiri Jakarta.
“ Assalamu’alaikum Ra,” seorang gadis berjilbab menggendong tas pink menyapaku dari kejauhan.
“ Wa’alaikum salaam,” ku dekati gadis itu.
“ Tumben kamu naik taksi Ra?”
“ Iya nih, ayahku hari ini ngambil cuti. Katanya sih ingin jaga bunda di rumah sakit.”
“ Oh ya? Gimana kondisi bundamu?”
“ Alhamdulillah, walaupun belum tampak perkembangan ke arah perbaikan. Kita masuk ke kelas dulu yuk, nanti keburu bel bunyi,” aku mengajak Kayla, teman sebangkuku, masuk ke kelas.
Siang ini aku sengaja tak langsung ke rumah sakit. Ada beberapa tugas sekolah yang harus ku kerjakan di rumah. Hanya ada Bi Inem yang menjaga rumah.
“ Bibi nggak ke rumah sakit?” tanyaku pada Bi Inem yang sedang sibuk menyiapkan pakaian ayah.
“ Nanti sore Ndhuk, sekalian mengantar pakaian bapak,” kata Bi Inem dengan logat jawanya yang kental.
“ Zahra ikut bibi ya, tapi mau ngerjain tugas dulu,”
“ Inggih Ndhuk,” jawabnya.
Tugas makalah bahasa Indonesia selesai sudah. Setidaknya aku bisa lolos dari hukuman guru bahasa Indonesia. Sebenarnya masih ada beberapa tugas untuk minggu depan, tapi aku tunda saja dulu. Rasa rinduku pada bunda sudah tak mampu ku bendung.
Hanya sekitar tiga puluh menit aku dan Bi Inem sampai di rumah sakit. Untungnya jalanan Jakarta tidak macet. Coba saja kalau macet, mungkin saat maghrib aku dan bibi baru sampai.
Aku benar-benar tak sabar berjumpa bunda. Ku buka kamar Melati Blok 4. Senang sekali, bunda sudah bisa duduk di atas kasurnya.
Seorang wanita berjilbab keluar dari toilet di ruang itu.
“ Tugasnya sudah selesai, Nak?” tanya wanita itu.
“ Tante Hana ada di sini juga?” tanyaku agak ketus. Entah kenapa aku jadi kurang sreg dengan wanita itu.
“ Sok tahu sekali sih tante Hana, pakai tanya tugasku segala,” batinku kesal.
“ Tadi ayah yang menjemput tante Hana. Itu permintaan bundamu. Nanti malam dia menginap di sini, ikut menunggu operasi bunda,” ayah menengahi.
“ Bunda jadi operasi nanti malam? Bukankah harusnya besok malam, Yah?”
“ Tadi siang bunda merasakan sakit yang luar biasa, lebih dari sakit yang biasanya. Kata dokter bunda harus segera dioperasi. Tak bisa ditunda hingga besok,”
Kumandang adzan maghrib memanggil setiap umat yang mengingatNya. Aku bergegas meninggalkan bunda yang sudah tak sadarkan diri oleh suntikan obat bius. Ku lihat ayah dan Tante Hana mengikuti langkahku di belakang.
Mushola rumah sakit mulai ramai dikunjungi para hamba Allah. Aku datang bergabung dengan jamaah sholat maghrib itu. Begitu pula Tante Hana yang ikut berdiri di shaf belakang.
“ Ya Allah, semoga bundaku termasuk golongan orang-orang bersabar. Mudahkanlah perjuangan bunda malam ini. Lancarkanlah operasinya. Ya Allah, kalaulah Engkau mengizinkan, biarkan bunda terus di sisiku. Biarkan aku terus melihat senyumnya yang suci. Tapi kalau memang Engkau berkehendak lain, ampunilah segala dosa-dosanya. Sungguh kami ikhlas jika memang itu mauMu. Jangan biarkan bunda tersiksa dengan rasa sakit yang luar biasa. Sedangkan ia hanyalah manusia biasa. Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirotii hasanah, waqinaa ngadzaabannaar.”
Ku lihat Tante Hana masih khusyuk berdoa. Kalau ku lihat-lihat, ia hampir sama dengan bunda. Begitu khusuyuk tiap kali berdoa pada Allah. Ah... tidak!!! Bunda jauh lebih baik daripada tante Hana.
“ Bunda mana Bi?” tanyaku pada Bi Inem yang masih di kamar rumah sakit memberesi pakaian bunda yang kotor.
“ Sudah di bawa ke ruang operasi. Satu jam lagi operasinya dimulai, Ndhuk.”
Aku menyusul ayah yang sudah menunggu di depan ruang operasi. Wajahnya sangat menampakkan raut cemas. Tasbih melingkar di tangan kanannya. Tak henti-hentinya ayah berdzikir.
“ Sini Nak, duduk samping ayah,” ayah melambaikan tangannya padaku.
Aku duduk di samping ayah. Tak ku ucapkan sepatah kata pun. Aku tak ingin mengganggu ayah yang khusyuk dengan dzikirnya. Tak berselang lama, Bi Inem dan Tante Hana menyusul aku dan ayah.
“ Bunda, berjuanglah... Zahra yakin bunda bisa,”
***************************************************

1 komentar:

Himawati'sblog mengatakan...

semoga novel perdana ini berhasil. Amin.