Ta’aruf Syar’i,
Solusi Pengganti Pacaran
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Pertanyaan:
1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya :
وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ …
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .
Wallahu a’lam.
Diambil dari Majalah Asy Syariah
Boleh dicopy dan disebarkan asal disertakan URL sumbernya
Minggu, 26 Juni 2011
Sabtu, 25 Juni 2011
BERJUANGLAH BUNDA (SUBJUDUL KEDUA DARI NOVEL " BUNDA UNTUK ZAHRA"
Wanita itu melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaiannya disertai senyum perpisahan. Jilbab birunya tersapu angin sore yang mengiringi perjalanan pulangnya. Lama-lama dia menghilang dari pandangan mataku seiring terus berjalannya ojek motor itu. Aku kembali memasuki rumah sakit yang mulai ramai dikunjungi para pembesuk
“ Tante Hana sudah pulang, Nak?”
“ Sudah Bunda, tadi Zahra antar Tante Hana sampai depan gerbang. Dia naik ojek.”
Sudah seminggu ini bunda harus terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Sejak tiga tahun lalu bunda harus berjuang melawan kanker yang bersarang di otaknya. Berulang kali ia keluar masuk rumah sakit. Berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan. Bahkan, sempat satu kali ayah membawa bunda berobat ke Singapura. Tapi apalah daya manusia, Allah belum memberikan kesembuhan itu buat bunda.
Kini rumah sakit bagaikan rumah keduaku. Pulang sekolah selalu ku sempatkan untuk menjenguk bunda. Aku menggantikan posisi Bi Inem, orang yang tak pantas jika ku sebut pembantu, bagiku ia lebih pantas ku anggap seperti keluarga sendiri. Kalau aku sudah di rumah sakit, Bi Inem yang pulang mengurus keperluan di rumah. Sedangkan ayah baru bisa pulang sekitar jam lima sore dari kantornya.
Bundaku adalah orang yang penuh semangat dan keoptimisan. She is my super hero, mungkin itulah julukan terbaik untuknya. Walau kini penyakit ganas menyertainya, tak pernah sekalipun bunda menampakkan keputus asaan. Dia tetap optimis bahwa Allah memberinya penyakit sebagai ujian, maka dia harus lulus dan bertawakal to be the champion.
“ Assalamu’alaikum,” terdengar suara seorang lelaki mengucapkan salam dari luar pintu.
“ Wa’alaikum salaam,”
Ayah yang baru saja pulang dari kantor langsung menuju rumah sakit. Ku lihat raut wajahnya dipenuhi sinar kelelahan. Demi bunda, ayah rela menyingkirkan segala penatnya setelah seharian berhadapan dengan berbagai urusan di kantor.
“ Ayah sudah makan?” biarpun bunda dalam keadaan tak berdaya, ia tak pernah sekalipun lupa memperhatikan suaminya. Sungguh, aku salut pada bunda. Ia benar-benar wanita luar biasa. Semoga saja bunda termasuk wanita yang dirindu surga. Amiin...
“ Tadi ayah sudah makan di kantor. Bunda di sini baik-baik saja kan?” tanya ayah sambil mengelus kepala bunda.
“ Alhamdulillah... Ayah tenang saja. Ada Bi Inem sama Zahra yang selalu di sini. Tadi Hana datang kemari menjengukku. Ia juga menanyakan kabar ayah. Ada salam darinya” kata bunda dengan suaranya yang lirih.
“ Oh ya? Sudah lama sekali aku tak berjumpa Hana. Dia pasti tetap ramah seperti dulu kan? Semoga saja kedatangannya bisa menjadi obat buat Bunda,” kata ayah dengan raut wajah yang lebih sumringah.
“ Iya, dia banyak bercerita tentang pendidikan S2-nya. Baru saja kembali dari Kairo. ”
“ Subhanallah, hebat sekali wanita seperti Hana. Beruntung sekali ya suaminya,”
“ Hingga sekarang dia belum bermahrom, katanya ingin lebih fokus pada pekerjaannya. Padahal dulu dia begitu dipuja-puja kaum adam. Ya, begitulah yang namanya belum jodoh.”
“ Ehm, ayah, kita ke mushola yuk! Sudah adzan nih,” aku memotong pembicaraan ayah dan bunda.
Entah mengapa kali ini aku kurang suka mendengar ayah memuji Tante Hana, sahabat bunda. Dia memang ramah, pintar, dan ... cantik sih. Tapi... hati kecilku tak rela jika ayah memuji Tante Hana. Jarang sekali aku mendengar ayah memuji orang hingga se-excessive itu, termasuk kepada bunda. Harusnya ayah memuji bunda yang jauh lebih hebat. Bagiku bunda jauh lebih ramah, cerdas, dan cantik tentunya dibandingkan Tante Hana.
Wajah tirus bunda dengan kepala tak berambut mulai bergerak. Mata cekungnya yang dulu penuh keoptimisan dan keceriaan, kini ia memandangiku dan mengerjap layu. Seakan ada hal yang ingin diungkapkannya. Ku sudahi tilawahku. Ku hampiri tubuhnya yang terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Ku genggam tangannya yang penuh kelembutan.
“ Kenapa bunda? Kepala bunda sakit?” tanyaku.
“ Nggak Zahra sayang, ayah mana Nak?”
“ Ayah lagi di mushola. Tadi sih katanya mau sholat isya.”
“ Nak, bunda cuma ingin peluk Zahra,” katanya lirih.
Ku peluk tubuhnya yang semakin kurus. Aku merasakan betapa hangatnya kasih sayang Bunda. Siapa lagi wanita yang menyayangiku sehangat ini selain bunda, apalagi aku hanya anak tunggal. Perlahan air mataku membasahi pipi. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, saat dulu bunda masih sehat. Sejak terserang kanker otak tiga tahun yang lalu, jarang sekali bunda memelukku.
“ Zahra sayang sama Bunda, kan?”
“ Iya Bunda, Zahra sayaaang sekali sama Bunda.”
Sudah sekian malam aku sering melihat bunda menangis. Meski ku tahu bunda adalah wanita yang kuat, dia tetaplah manusia biasa. Dia bukanlah Fatimah Azzahra yang memiliki ketabahan bak karang di lautan. Selama ini bunda selalu berusaha kuat di hadapanku. Dia selalu berusaha menutup-tutupi rasa sakitnya. Kalau aku di posisi bunda, tak bisa ku bayangkan bagaimana sakitnya. Ya Allah, kuatkan Bundaku ... .
“ Akhir-akhir ini Zahra sering liat Bunda nangis. Kenapa Bun?” tanyaku.
“ Tidak apa-apa, sayang. Bunda cuma takut kehilangan kamu, Nak.”
Ku hapus air matanya yang mulai membasahi pipi. Ia mendekapku semakin erat. Ya Allah ... aku benar-benar tak ingin kehilangan bunda.
Aku benar-benar tak kuasa menahan pilu. Bundaku yang dulu selalu bersemangat, kini ia hanya bisa menahan rasa sakit yang luar biasa. Kalau mungkin, sungguh aku mau menggantikan posisinya di kasur putih itu. Biar aku yang berjuang melawan rasa sakit itu asalkan Bunda bisa seperti dulu.
Tengah malam aku terbangun. Ku tinggalkan Bunda yang sedang tertidur pulas. Begitu pula ayah yang tertidur di kursi menyandarkan kepala di dekat tangan bunda. Suasana rumah sakit sangat lengang, hanya beberapa perawat yang jaga malam terlihat sedang bercengkrama menghilangkan kantuk. Dingin yang menusuk tulang memaksaku memakai sweater hadiah ulang tahun dari ayah. Ku masuki mushola rumah sakit yang hampa tanpa pengunjungnya. Mereka sedang tenggelam dalam mimpi indahnya, pikirku. Percikan air wudhu membasahi wajahku. Rasa kantuk seketika lenyap tak kuasa menahan dinginnya air yang mengalir dari kran. Aku berdiri menghadap Rabb-ku dalam rangkaian tahajjud. Selayaknya sajadah yang senantiasa dibasahi air mata tahajjud seorang hamba, dunia ini adalah sebuah keniscayaan untuk tetap berdiri di tengah badai kehidupan. Seorang hamba yang terkulai lemah tak berdaya di hadapanNya, menghiba-mengemis pertolonganNya.
“Ya Rabb seru sekalian alam, hamba bersimpuh di hadapanMu. Ya Rabbil ‘aalamiin, hamba yakin Engkau menyembunyikan rencana di balik tanganMu. Entah rencana apa yang sudah kau susun, hamba hanya bisa mengikuti permainanMu. Jalan rahmat Mu tidaklah mudah, penuh dengan perjuangan dan derai air mata . Tapi ya Allah, kalau Engkau izinkan, sembuhkan bundaku. Salah apa bunda hingga Engkau memberinya ujian seberat itu? Tak cukupkah penderitaan bunda selama ini? Akhiri penderitaannya Ya Allah ... Jadikan setiap rasa sakitnya sebagai penghapus dosa-dosanya. Kembalikan bunda yang dulu, bunda yang selalu bersemangat menjalani setiap detiknya. Kembalikan dia ke pelukanku Ya Rabb. Berikan kami waktu lebih lama tuk bersamanya. Golongkanlah dia sebagai wanita yang dirindu surga bersama para wanita sholihah. Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirotii hasanah, waqinaa ngadzaabannaar.”
Indahnya langit Jakarta pagi ini menaungi perjalananku ke sekolah. Kali ini aku tak berangkat bersama ayah. Sebuah taksi membawaku hingga di depan SMA Mandiri Jakarta.
“ Assalamu’alaikum Ra,” seorang gadis berjilbab menggendong tas pink menyapaku dari kejauhan.
“ Wa’alaikum salaam,” ku dekati gadis itu.
“ Tumben kamu naik taksi Ra?”
“ Iya nih, ayahku hari ini ngambil cuti. Katanya sih ingin jaga bunda di rumah sakit.”
“ Oh ya? Gimana kondisi bundamu?”
“ Alhamdulillah, walaupun belum tampak perkembangan ke arah perbaikan. Kita masuk ke kelas dulu yuk, nanti keburu bel bunyi,” aku mengajak Kayla, teman sebangkuku, masuk ke kelas.
Siang ini aku sengaja tak langsung ke rumah sakit. Ada beberapa tugas sekolah yang harus ku kerjakan di rumah. Hanya ada Bi Inem yang menjaga rumah.
“ Bibi nggak ke rumah sakit?” tanyaku pada Bi Inem yang sedang sibuk menyiapkan pakaian ayah.
“ Nanti sore Ndhuk, sekalian mengantar pakaian bapak,” kata Bi Inem dengan logat jawanya yang kental.
“ Zahra ikut bibi ya, tapi mau ngerjain tugas dulu,”
“ Inggih Ndhuk,” jawabnya.
Tugas makalah bahasa Indonesia selesai sudah. Setidaknya aku bisa lolos dari hukuman guru bahasa Indonesia. Sebenarnya masih ada beberapa tugas untuk minggu depan, tapi aku tunda saja dulu. Rasa rinduku pada bunda sudah tak mampu ku bendung.
Hanya sekitar tiga puluh menit aku dan Bi Inem sampai di rumah sakit. Untungnya jalanan Jakarta tidak macet. Coba saja kalau macet, mungkin saat maghrib aku dan bibi baru sampai.
Aku benar-benar tak sabar berjumpa bunda. Ku buka kamar Melati Blok 4. Senang sekali, bunda sudah bisa duduk di atas kasurnya.
Seorang wanita berjilbab keluar dari toilet di ruang itu.
“ Tugasnya sudah selesai, Nak?” tanya wanita itu.
“ Tante Hana ada di sini juga?” tanyaku agak ketus. Entah kenapa aku jadi kurang sreg dengan wanita itu.
“ Sok tahu sekali sih tante Hana, pakai tanya tugasku segala,” batinku kesal.
“ Tadi ayah yang menjemput tante Hana. Itu permintaan bundamu. Nanti malam dia menginap di sini, ikut menunggu operasi bunda,” ayah menengahi.
“ Bunda jadi operasi nanti malam? Bukankah harusnya besok malam, Yah?”
“ Tadi siang bunda merasakan sakit yang luar biasa, lebih dari sakit yang biasanya. Kata dokter bunda harus segera dioperasi. Tak bisa ditunda hingga besok,”
Kumandang adzan maghrib memanggil setiap umat yang mengingatNya. Aku bergegas meninggalkan bunda yang sudah tak sadarkan diri oleh suntikan obat bius. Ku lihat ayah dan Tante Hana mengikuti langkahku di belakang.
Mushola rumah sakit mulai ramai dikunjungi para hamba Allah. Aku datang bergabung dengan jamaah sholat maghrib itu. Begitu pula Tante Hana yang ikut berdiri di shaf belakang.
“ Ya Allah, semoga bundaku termasuk golongan orang-orang bersabar. Mudahkanlah perjuangan bunda malam ini. Lancarkanlah operasinya. Ya Allah, kalaulah Engkau mengizinkan, biarkan bunda terus di sisiku. Biarkan aku terus melihat senyumnya yang suci. Tapi kalau memang Engkau berkehendak lain, ampunilah segala dosa-dosanya. Sungguh kami ikhlas jika memang itu mauMu. Jangan biarkan bunda tersiksa dengan rasa sakit yang luar biasa. Sedangkan ia hanyalah manusia biasa. Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirotii hasanah, waqinaa ngadzaabannaar.”
Ku lihat Tante Hana masih khusyuk berdoa. Kalau ku lihat-lihat, ia hampir sama dengan bunda. Begitu khusuyuk tiap kali berdoa pada Allah. Ah... tidak!!! Bunda jauh lebih baik daripada tante Hana.
“ Bunda mana Bi?” tanyaku pada Bi Inem yang masih di kamar rumah sakit memberesi pakaian bunda yang kotor.
“ Sudah di bawa ke ruang operasi. Satu jam lagi operasinya dimulai, Ndhuk.”
Aku menyusul ayah yang sudah menunggu di depan ruang operasi. Wajahnya sangat menampakkan raut cemas. Tasbih melingkar di tangan kanannya. Tak henti-hentinya ayah berdzikir.
“ Sini Nak, duduk samping ayah,” ayah melambaikan tangannya padaku.
Aku duduk di samping ayah. Tak ku ucapkan sepatah kata pun. Aku tak ingin mengganggu ayah yang khusyuk dengan dzikirnya. Tak berselang lama, Bi Inem dan Tante Hana menyusul aku dan ayah.
“ Bunda, berjuanglah... Zahra yakin bunda bisa,”
***************************************************
“ Tante Hana sudah pulang, Nak?”
“ Sudah Bunda, tadi Zahra antar Tante Hana sampai depan gerbang. Dia naik ojek.”
Sudah seminggu ini bunda harus terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Sejak tiga tahun lalu bunda harus berjuang melawan kanker yang bersarang di otaknya. Berulang kali ia keluar masuk rumah sakit. Berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan. Bahkan, sempat satu kali ayah membawa bunda berobat ke Singapura. Tapi apalah daya manusia, Allah belum memberikan kesembuhan itu buat bunda.
Kini rumah sakit bagaikan rumah keduaku. Pulang sekolah selalu ku sempatkan untuk menjenguk bunda. Aku menggantikan posisi Bi Inem, orang yang tak pantas jika ku sebut pembantu, bagiku ia lebih pantas ku anggap seperti keluarga sendiri. Kalau aku sudah di rumah sakit, Bi Inem yang pulang mengurus keperluan di rumah. Sedangkan ayah baru bisa pulang sekitar jam lima sore dari kantornya.
Bundaku adalah orang yang penuh semangat dan keoptimisan. She is my super hero, mungkin itulah julukan terbaik untuknya. Walau kini penyakit ganas menyertainya, tak pernah sekalipun bunda menampakkan keputus asaan. Dia tetap optimis bahwa Allah memberinya penyakit sebagai ujian, maka dia harus lulus dan bertawakal to be the champion.
“ Assalamu’alaikum,” terdengar suara seorang lelaki mengucapkan salam dari luar pintu.
“ Wa’alaikum salaam,”
Ayah yang baru saja pulang dari kantor langsung menuju rumah sakit. Ku lihat raut wajahnya dipenuhi sinar kelelahan. Demi bunda, ayah rela menyingkirkan segala penatnya setelah seharian berhadapan dengan berbagai urusan di kantor.
“ Ayah sudah makan?” biarpun bunda dalam keadaan tak berdaya, ia tak pernah sekalipun lupa memperhatikan suaminya. Sungguh, aku salut pada bunda. Ia benar-benar wanita luar biasa. Semoga saja bunda termasuk wanita yang dirindu surga. Amiin...
“ Tadi ayah sudah makan di kantor. Bunda di sini baik-baik saja kan?” tanya ayah sambil mengelus kepala bunda.
“ Alhamdulillah... Ayah tenang saja. Ada Bi Inem sama Zahra yang selalu di sini. Tadi Hana datang kemari menjengukku. Ia juga menanyakan kabar ayah. Ada salam darinya” kata bunda dengan suaranya yang lirih.
“ Oh ya? Sudah lama sekali aku tak berjumpa Hana. Dia pasti tetap ramah seperti dulu kan? Semoga saja kedatangannya bisa menjadi obat buat Bunda,” kata ayah dengan raut wajah yang lebih sumringah.
“ Iya, dia banyak bercerita tentang pendidikan S2-nya. Baru saja kembali dari Kairo. ”
“ Subhanallah, hebat sekali wanita seperti Hana. Beruntung sekali ya suaminya,”
“ Hingga sekarang dia belum bermahrom, katanya ingin lebih fokus pada pekerjaannya. Padahal dulu dia begitu dipuja-puja kaum adam. Ya, begitulah yang namanya belum jodoh.”
“ Ehm, ayah, kita ke mushola yuk! Sudah adzan nih,” aku memotong pembicaraan ayah dan bunda.
Entah mengapa kali ini aku kurang suka mendengar ayah memuji Tante Hana, sahabat bunda. Dia memang ramah, pintar, dan ... cantik sih. Tapi... hati kecilku tak rela jika ayah memuji Tante Hana. Jarang sekali aku mendengar ayah memuji orang hingga se-excessive itu, termasuk kepada bunda. Harusnya ayah memuji bunda yang jauh lebih hebat. Bagiku bunda jauh lebih ramah, cerdas, dan cantik tentunya dibandingkan Tante Hana.
Wajah tirus bunda dengan kepala tak berambut mulai bergerak. Mata cekungnya yang dulu penuh keoptimisan dan keceriaan, kini ia memandangiku dan mengerjap layu. Seakan ada hal yang ingin diungkapkannya. Ku sudahi tilawahku. Ku hampiri tubuhnya yang terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Ku genggam tangannya yang penuh kelembutan.
“ Kenapa bunda? Kepala bunda sakit?” tanyaku.
“ Nggak Zahra sayang, ayah mana Nak?”
“ Ayah lagi di mushola. Tadi sih katanya mau sholat isya.”
“ Nak, bunda cuma ingin peluk Zahra,” katanya lirih.
Ku peluk tubuhnya yang semakin kurus. Aku merasakan betapa hangatnya kasih sayang Bunda. Siapa lagi wanita yang menyayangiku sehangat ini selain bunda, apalagi aku hanya anak tunggal. Perlahan air mataku membasahi pipi. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini, saat dulu bunda masih sehat. Sejak terserang kanker otak tiga tahun yang lalu, jarang sekali bunda memelukku.
“ Zahra sayang sama Bunda, kan?”
“ Iya Bunda, Zahra sayaaang sekali sama Bunda.”
Sudah sekian malam aku sering melihat bunda menangis. Meski ku tahu bunda adalah wanita yang kuat, dia tetaplah manusia biasa. Dia bukanlah Fatimah Azzahra yang memiliki ketabahan bak karang di lautan. Selama ini bunda selalu berusaha kuat di hadapanku. Dia selalu berusaha menutup-tutupi rasa sakitnya. Kalau aku di posisi bunda, tak bisa ku bayangkan bagaimana sakitnya. Ya Allah, kuatkan Bundaku ... .
“ Akhir-akhir ini Zahra sering liat Bunda nangis. Kenapa Bun?” tanyaku.
“ Tidak apa-apa, sayang. Bunda cuma takut kehilangan kamu, Nak.”
Ku hapus air matanya yang mulai membasahi pipi. Ia mendekapku semakin erat. Ya Allah ... aku benar-benar tak ingin kehilangan bunda.
Aku benar-benar tak kuasa menahan pilu. Bundaku yang dulu selalu bersemangat, kini ia hanya bisa menahan rasa sakit yang luar biasa. Kalau mungkin, sungguh aku mau menggantikan posisinya di kasur putih itu. Biar aku yang berjuang melawan rasa sakit itu asalkan Bunda bisa seperti dulu.
Tengah malam aku terbangun. Ku tinggalkan Bunda yang sedang tertidur pulas. Begitu pula ayah yang tertidur di kursi menyandarkan kepala di dekat tangan bunda. Suasana rumah sakit sangat lengang, hanya beberapa perawat yang jaga malam terlihat sedang bercengkrama menghilangkan kantuk. Dingin yang menusuk tulang memaksaku memakai sweater hadiah ulang tahun dari ayah. Ku masuki mushola rumah sakit yang hampa tanpa pengunjungnya. Mereka sedang tenggelam dalam mimpi indahnya, pikirku. Percikan air wudhu membasahi wajahku. Rasa kantuk seketika lenyap tak kuasa menahan dinginnya air yang mengalir dari kran. Aku berdiri menghadap Rabb-ku dalam rangkaian tahajjud. Selayaknya sajadah yang senantiasa dibasahi air mata tahajjud seorang hamba, dunia ini adalah sebuah keniscayaan untuk tetap berdiri di tengah badai kehidupan. Seorang hamba yang terkulai lemah tak berdaya di hadapanNya, menghiba-mengemis pertolonganNya.
“Ya Rabb seru sekalian alam, hamba bersimpuh di hadapanMu. Ya Rabbil ‘aalamiin, hamba yakin Engkau menyembunyikan rencana di balik tanganMu. Entah rencana apa yang sudah kau susun, hamba hanya bisa mengikuti permainanMu. Jalan rahmat Mu tidaklah mudah, penuh dengan perjuangan dan derai air mata . Tapi ya Allah, kalau Engkau izinkan, sembuhkan bundaku. Salah apa bunda hingga Engkau memberinya ujian seberat itu? Tak cukupkah penderitaan bunda selama ini? Akhiri penderitaannya Ya Allah ... Jadikan setiap rasa sakitnya sebagai penghapus dosa-dosanya. Kembalikan bunda yang dulu, bunda yang selalu bersemangat menjalani setiap detiknya. Kembalikan dia ke pelukanku Ya Rabb. Berikan kami waktu lebih lama tuk bersamanya. Golongkanlah dia sebagai wanita yang dirindu surga bersama para wanita sholihah. Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirotii hasanah, waqinaa ngadzaabannaar.”
Indahnya langit Jakarta pagi ini menaungi perjalananku ke sekolah. Kali ini aku tak berangkat bersama ayah. Sebuah taksi membawaku hingga di depan SMA Mandiri Jakarta.
“ Assalamu’alaikum Ra,” seorang gadis berjilbab menggendong tas pink menyapaku dari kejauhan.
“ Wa’alaikum salaam,” ku dekati gadis itu.
“ Tumben kamu naik taksi Ra?”
“ Iya nih, ayahku hari ini ngambil cuti. Katanya sih ingin jaga bunda di rumah sakit.”
“ Oh ya? Gimana kondisi bundamu?”
“ Alhamdulillah, walaupun belum tampak perkembangan ke arah perbaikan. Kita masuk ke kelas dulu yuk, nanti keburu bel bunyi,” aku mengajak Kayla, teman sebangkuku, masuk ke kelas.
Siang ini aku sengaja tak langsung ke rumah sakit. Ada beberapa tugas sekolah yang harus ku kerjakan di rumah. Hanya ada Bi Inem yang menjaga rumah.
“ Bibi nggak ke rumah sakit?” tanyaku pada Bi Inem yang sedang sibuk menyiapkan pakaian ayah.
“ Nanti sore Ndhuk, sekalian mengantar pakaian bapak,” kata Bi Inem dengan logat jawanya yang kental.
“ Zahra ikut bibi ya, tapi mau ngerjain tugas dulu,”
“ Inggih Ndhuk,” jawabnya.
Tugas makalah bahasa Indonesia selesai sudah. Setidaknya aku bisa lolos dari hukuman guru bahasa Indonesia. Sebenarnya masih ada beberapa tugas untuk minggu depan, tapi aku tunda saja dulu. Rasa rinduku pada bunda sudah tak mampu ku bendung.
Hanya sekitar tiga puluh menit aku dan Bi Inem sampai di rumah sakit. Untungnya jalanan Jakarta tidak macet. Coba saja kalau macet, mungkin saat maghrib aku dan bibi baru sampai.
Aku benar-benar tak sabar berjumpa bunda. Ku buka kamar Melati Blok 4. Senang sekali, bunda sudah bisa duduk di atas kasurnya.
Seorang wanita berjilbab keluar dari toilet di ruang itu.
“ Tugasnya sudah selesai, Nak?” tanya wanita itu.
“ Tante Hana ada di sini juga?” tanyaku agak ketus. Entah kenapa aku jadi kurang sreg dengan wanita itu.
“ Sok tahu sekali sih tante Hana, pakai tanya tugasku segala,” batinku kesal.
“ Tadi ayah yang menjemput tante Hana. Itu permintaan bundamu. Nanti malam dia menginap di sini, ikut menunggu operasi bunda,” ayah menengahi.
“ Bunda jadi operasi nanti malam? Bukankah harusnya besok malam, Yah?”
“ Tadi siang bunda merasakan sakit yang luar biasa, lebih dari sakit yang biasanya. Kata dokter bunda harus segera dioperasi. Tak bisa ditunda hingga besok,”
Kumandang adzan maghrib memanggil setiap umat yang mengingatNya. Aku bergegas meninggalkan bunda yang sudah tak sadarkan diri oleh suntikan obat bius. Ku lihat ayah dan Tante Hana mengikuti langkahku di belakang.
Mushola rumah sakit mulai ramai dikunjungi para hamba Allah. Aku datang bergabung dengan jamaah sholat maghrib itu. Begitu pula Tante Hana yang ikut berdiri di shaf belakang.
“ Ya Allah, semoga bundaku termasuk golongan orang-orang bersabar. Mudahkanlah perjuangan bunda malam ini. Lancarkanlah operasinya. Ya Allah, kalaulah Engkau mengizinkan, biarkan bunda terus di sisiku. Biarkan aku terus melihat senyumnya yang suci. Tapi kalau memang Engkau berkehendak lain, ampunilah segala dosa-dosanya. Sungguh kami ikhlas jika memang itu mauMu. Jangan biarkan bunda tersiksa dengan rasa sakit yang luar biasa. Sedangkan ia hanyalah manusia biasa. Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirotii hasanah, waqinaa ngadzaabannaar.”
Ku lihat Tante Hana masih khusyuk berdoa. Kalau ku lihat-lihat, ia hampir sama dengan bunda. Begitu khusuyuk tiap kali berdoa pada Allah. Ah... tidak!!! Bunda jauh lebih baik daripada tante Hana.
“ Bunda mana Bi?” tanyaku pada Bi Inem yang masih di kamar rumah sakit memberesi pakaian bunda yang kotor.
“ Sudah di bawa ke ruang operasi. Satu jam lagi operasinya dimulai, Ndhuk.”
Aku menyusul ayah yang sudah menunggu di depan ruang operasi. Wajahnya sangat menampakkan raut cemas. Tasbih melingkar di tangan kanannya. Tak henti-hentinya ayah berdzikir.
“ Sini Nak, duduk samping ayah,” ayah melambaikan tangannya padaku.
Aku duduk di samping ayah. Tak ku ucapkan sepatah kata pun. Aku tak ingin mengganggu ayah yang khusyuk dengan dzikirnya. Tak berselang lama, Bi Inem dan Tante Hana menyusul aku dan ayah.
“ Bunda, berjuanglah... Zahra yakin bunda bisa,”
***************************************************
Langganan:
Komentar (Atom)